KELUARGA PAJAR, PARIMBUNIS

PERSATUAN KELUARGA BESAR KETURUNAN RAJA ALI RAJA JAAFAR (YDM RIAU VIII) DAN ENGKU CHIK TEMENGGUNG ABDUL RAHMAN

Pikiran Islam Dan Tradisi Melayu


Tulisan Raja Ali Haji dari Riau (ca. 1809-ca. 1870)
Pada dekad pertama abad ke-19, ketika pemerintah jajahan Belanda di Batavia mulai menampakkan perhatian mengumpulkan manuskrip-manuskrip Melayu dan menyusun informasi yang dipercaya mengenai bahasa Melayu, Kepulauan Riau-Lingga menjadi fokus perhatian.

Dirasakan bahwa hanya di tempat tersebut, di jantung kerajaan Johor Lama, bahasa Melayu tinggi yang asli masih diucapkan dan linguistik serta tradisi kesusastraan tradisional masih disimpan.[1] Ketika Elisa Netscher, seorang pejabat Belanda dan sejarawan yang kemudian menjadi penduduk Riau, berkata pada tahun 1858, "Walaupun ada perasaan bahwa kesusastraan Melayu di Riau telah menurun (dibandingkan dengan masa lalu) masih banyak siswa yang tekun dan sastrawan-sastrawan... yang dihormati.[2] Karya-karya yang dihasilkan di Riau-Lingga semasa itu selain berakar dengan kuatnya dalam tradisi kesusastraan Melayu dan Islam juga mencerminkan usaha yang bersungguh-sungguh untuk mencatat dan mengerti masa lalu, sesuai dengan tuntutan khusus pada situasi masa kini. Hal itu tidak tampak dalam tulisan mana pun kecuali dalam tulisan Raja Ali Haji bin Raja Ahmad (ca. 1809 - ca. 1870)."[3]

Raja Ali Haji, di atas segalanya merupakan produk zamannya, sangat memperhatikan akibat perubahan sosial politik yang dialami dunia Melayu pada abad ke-18 dan ke-19. Ketika ia berumur lima belas tahun, Kerajaan Besar Johor yang memiliki kawasan luas termasuk daerah Semenanjung Malaya seberang Sumatra, tinggal sebesar Keresidenan Riau[4] luas wilayahnya. Lebih dari seratus tahun, daerah itu mengalami trauma akibat pembunuhan rajanya, perpecahan dan konflik intern yang mengantarkan berdirinya dinasti baru dan suatu invasi dari Minangkabau berakhir dengan larinya Sultan[5] yang memerintah. Ia baru dapat lagi merebut kekuasaannya dengan bantuan tentara bayaran Bugis yang mengalahkan Minangkabau. Sebagai imbalannya, Sultan memberi jabatan Yang Dipertuan Muda (pembantu Sultan) yang akan dijabat turun temurun oleh keturunannya.[6] Namun, pengaturan administrasi yang dualistis di bawah pimpinan Sultan Melayu dan Yang Dipertuan Muda asal Bugis, masing-masing didukung oleh pegawai-pegawai sendiri, tidak dapat diterima para bangsawan Melayu, yang kebanyakan merasa terlalu diperintah orang Bugis. Meski berulang kali diucapkan sumpah kesetiaan antara dua pihak tersebut, hubungan di antara keduanya tidak pernah stabil, dan orang-orang Melayu terus berusaha menggulingkan penguasa Riau.[7] Friksi yang timbul baru dapat sedikit diredakan pada akhir abad ke-18 ketika Sultan Mahmud, seorang raja Melayu, meninggalkan Riau pada orang Bugis dan membangun kerajaannya sendiri di selatan di Pulau Lingga.

Suatu pertengkaran sehubungan dengan penggantian tahta pada 1812, ketika kelompok Bugis dan kelompok Melayu masing-masing mendukung calon yang berbeda bagi tahta Kesultanan Lingga, menimbulkan lagi ketegangan lama. Konflik kedua kelompok mencapai kulminasinya pada 1819 ketika Raffles menempatkan seorang yang mengklaim diri sebagai sultan dari Singapura, sedangkan Belanda bereaksi dengan menempatkan orang lain sebagai sultan dari Lingga.[8]

Terlibatnya orang-orang Eropah dalam konflik dinasti tersebut mencerminkan perubahan kenyataan di bidang politik dan ekonomi di Kepulauan Melayu. Dengan mengesahkan pembentukan dua daerah pengaruh yang berbeda, perjanjian Inggris-Belanda pada 1824 membagi dunia orang Melayu dan membagi dua Kerajaan Johor Lama, memisahkan saudara dengan saudara dan kawan dengan kawan.[9] Tertanamnya kekuasaan Belanda di daerah semenanjung mencanangkan berlalunya suatu periode. Dalam kata-kata Munshi Abdullah, ”orde lama telah hancur, suatu dunia baru tercipta dan sekeliling kita sementara berubah.”[10] Perekonomian Riau, yang telah goyah akibat pertentangan yang menahun, menjadi lebih parah dengan berkembangnya Singapura.[11] Jika orang turun dari kapal dan menginjakkan kaki di Tanjungpinang — sebuah kota di bawah administrasi Belanda — adalah bagaikan memasuki suatu dunia baru, di bawah penguasaan dengan standar[12] yang amat berbeda. Tanpa menghiraukan kesibukan kehidupan kosmopolitan di Singapura, kehidupan tradisional, adat, dan agama terus berlangsung, tidak terpengaruh oleh hadirnya penjajah. Manakala elite penguasa di Singapura semakin terpesona oleh gaya hidup baru yang diperkenalkan Inggris, Riau tetap mempertahankan kehidupan lamanya, melindungi apa yang tampak sebagai warisan Melayu. Di sini kaum reformis Islam di penghujung abad ke-19 dapat berkembang, beroleh dorongan dari kesalehan Sultan Melayu dan Yamtuan Muda Bugis.[13] Tarikat, persekutuan mistik di bawah bimbingan seorang guru atau sheik berkembang, tetapi perkembangan dari yang bertentangan dengan kemurnian Islam di abad pertengahan dilarang. Dalam pandangan orang Melayu umumnya, Riau beroleh reputasinya sebagai tempat berkembangnya agama yang murni.[14]

Meskipun demikian, Raja Ali Haji dan kelompoknya menyadari bahwa nilai-nilai dan adat yang dipelihara dan diperkembangkan berada dalam bahaya yang berasal dari kekuatan-kekuatan luar yang tidak dapat mereka kendalikan. Dalam situasi latar belakang demikianlah dalam situasi terancam, hanya dihasilkan prosa-prosa dan puisi yang dikemukakan Netscher.[15] Walaupun tradisi kesusastraan Johor kuat, aneh bagian terbesar dari kesusastraan Riau periode tersebut ditulis dan disponsori bukan oleh Sultan Melayu, melainkan oleh anggota kerabat Bugis Yamtuan Muda dan yang berhubungan dekat dengan mereka.

Mayoritas pangeran Bugis di Riau dapat menelusuri asal-usul keturunan mereka langsung dari tokoh legendaris Raja Haji (wafat tahun 1784), Yamtuan Muda ke-4, yang bahkan semasa hidupnya dianggap tokoh suci,[16] (keramat hidup). Mereka merupakan suatu lingkungan yang kuat, umumnya mereka tinggal di Pulau Penyengat, tidak jauh dari Tanjungpinang. Mereka amat bangga dengan asal-usul dan hubungan kekerabatan mereka. Mereka tetap merasa sebagai bagian integral dari masyarakat Melayu dan dari masyarakat Islam yang luas. Banyak dari mereka telah melakukan perjalanan suci ke Mekkah dan menyadari perkembangan politik di kepulauan dan dunia luarnya.[17] Pulau Penyengat merupakan basis kekuatan dari Yamtuan Muda, yang memberikan Riau kepemimpinan sekuler dan agama serta lebih merupakan jantung kekuasaan kerajaan Sultan daripada Lingga tempat terdapat istana kediamannya.

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa masyarakat ini saja yang dikatakan bertanggung jawab atas renaisans kesusastraan di Riau pada paruh pertama abad ke-19. Tidak ayal bahwa banyak yang didorong oleh kepentingan-kepentingan para pejabat Belanda yang mengumpulkan manuskrip-manuskrip bagi kepentingan pribadinya atau karena instruksi khusus dari Batavia. Sejumlah teks yang kini disimpan di Jakarta dan Leiden, misalnya, disain di ruang kerja C.P.J. Elout semasa ia menjabat Residen Riau (1826-1830).[18] Dalam kedudukannya sebagai penerjemah Alkitab, H.C. Klinkert beroleh lebih dari 90 manuskrip selama dua setengah tahun tinggal di Riau,[19] dan H.T. von de Wall pribadi mensponsori publikasi kesusastraan sebagai hanya usaha kaum elite Riau yang bekerja sama dengannya menyusun sebuah kamus.[20] Residen Elisa Netscher (1861-1870) dengan cermat mengumpulkan, mentranskrip, dan menerjemahkan sejumlah karya yang diterbitkan dalam beberapa majalah Belanda yang terkenal.

Tampaknya, bagi orang-orang Bugis Penyengat, menulis telah menjadi suatu pekerjaan keraton yang terhormat. Di kalangan istana-istana tradisional Melayu, kronik dan puisi mungkin diperintahkan bahkan di bawah supervisi raja, pangeran atau bangsawan yang berkuasa, tetapi isi karangan biasanya dipercayakan pada ahli, seorang pengarang. Walaupun relatif hanya sedikit saja kerabat kerajaan yang dibebani tugas-tugas pemerintahan, hanya sesekali saja anak raja[21] terlibat langsung dalam aktivitas penulisan kesusastraan. Sebaliknya, penduduk Penyengat bukan sekadar memiliki kesempatan dan kepandaian menulis, melainkan menggemari pekerjaan tersebut. Di antara mereka diciptakan dan diterjemahkan cerita-cerita dan syair-syair terkenal, kadang-kadang menggambarkan peristiwa-peristiwa keraton dalam bentuk sindiran untuk menghibur para bangsawan.[22] Lainnya terlibat dalam pekerjaan penerjemahan karya-karya agama, teks-teks pendidikan yang dihasilkan dalam iklim reformasi Islam, yang dimaksudkan untuk menunjukkan jalan mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhannya.[23] Keluarga Yamtuan Muda juga terutama menaruh minat pada hal-hal sejarah, yang mencerminkan pencarian identitas dan hubungan dengan masa lalu suatu dinasti yang merasa bahwa masa kejayaannya telah lenyap. Akhirnya haruslah diingat, dalam masyarakat Bugis umumnya tertanam kuat pandangan bahwa pangeran-pangeran tua akan dilupakan keturunan mereka[24] dan warisan Bugis ini di Penyengat masih terasa kuat.[25] Dua karya sejarah yang dihasilkan pada abad ke-19 menekankan bahwa catatan-catatan tersebut dimaksudkan bagi kepentingan generasi mendatang.[26]

Seorang tokoh yang amat berpengaruh dalam kelompok Penyengat adalah Raja Ahmad, anak laki-laki dan pahlawan Bugis yang terkenal, Raja Haji, dan saudara laki-laki Raja Ja‘afar, Yamtuan Muda dan tahun 1805-1831. Lahir pada 1773, Raja Ahmad melihat perubahan-perubahan dalam istana Melayu setelah tahun 1784 dan, sebagai pejabat dalam keraton Riau, terlibat langsung dengan peristiwa-peristiwa penting yang menentukan pada periode tersebut. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan-kemampuan, kehidupannya sangat menarik. Ia adalah pangeran pertama dari Riau yang naik haji, dan pada 1823 ia memimpin misi perdagangan dan penelitian ke Batavia menemui Gubernur Jenderal.[27] Ia menaruh minat besar pada sejarah yang silam, dan salah satu karyanya (Syair Perang Johor) menguraikan mengenai perang Johor dan Aceh pada abad ke-17, yakni zaman keemasan Johor.[28] Kini dikatakan, Raja Ahmad inilah yang pertama-tama melahirkan sebuah epik yang menghubungkan sejarah Bugis di daerah Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.[29]

Raja Ahmad adalah pelopor masa itu, tetapi kehidupan dan karyanya tersaing oleh karya anaknya yang terkenal, Raja Ali Haji, yang lahir pada 1809. Sejak masa mudanya Raja Ali Haji, anak laki-laki tertuanya, disenangi orang. Ia menyertai bapaknya dalam pelbagai ekspedisi, termasuk misi ke Batavia, perjalanan dagang dan menunaikan ibadah haji. Sebelum mencapai usia dua puluh tahun, Raja Ali Haji telah banyak melihat dunia dan dalam beberapa tahun kemudian ia telah diserahi tugas-tugas kenegaraan yang penuh tanggung jawab. Pada usia tiga puluh dua tahun, ia menjabat bupati bersama sepupunya, Raja Ali ibni Raja Ja‘afar, dan memerintah Lingga untuk Sultan Mahmud yang masih belia (c. 1832-1857). Walaupun masih muda, Raja Ali Haji sangat terpandang sebagai cendekiawan agama, yang aktif menghimpun guru-guru agama di Riau dan sering diminta pendapatnya mengenai doktrin-doktrin agama oleh kerabat kerajaan. Ketika sepupunya, Raja Ali ibni Raja Ja‘afar, menjadi Yamtuan Muda pada 1845, Raja Ali Haji diangkat sebagai penasehat keagamaan dan muncul sebagai anggota terkemuka tarikat Nakshabandiyya yang diketuai saudara kandung[30] Yamtuan Muda. Kedua orang itu, yang dekat dengan Raja Ali, telah mendalami hukum-hukum agama dan sadar akan sejarah Johor,[31] yang menjadi tipe dari elite masyarakat Penyengat. Raja Ali Haji dengan demikian bukan tokoh tunggal, melainkan hanyalah salah satu dari sekelompok orang yang menurut ukuran kontemporer Melayu dapat dianggap sebagai golongan intelektual.

Sebagai juru bicara kelompok ini, prestise Raja Ali Haji di kalangan penduduk yang berbahasa Melayu di daerah ini cukup tinggi, dan ia pun dianggap cendekiawan yang termasyhur di kalangan bangsanya.[32] Di kalangan sastrawan Riau, karyanya mungkin merupakan karya pertama yang diterbitkan, ketika syair Sultan Abdul Muluk diterbitkan pada 1847[33] dalam TNI. Enam tahun kemudian di bawah sponsor Elisa Netscher, syair-syair lain dari Raja Ali Haji muncul dalam majalah Bataviaasch Genootschap.[34] Ketika Yamtuan Muda Ali menentukan bahwa diperlukan tata bahasa Melayu, sepupunyalah yang dipilihnya menjadi penghimpunnya. Teks yang berjudul Bustan al-Katibin (Kebun Penulis-Penulis) dicetak pada tahun 1875 dan digunakan dengan sangat sukses di sekolah-sekolah di Johor dan Singapura. Kemudian, Raja Ali Haji memulai penggunaan kamus bahasa Melayu, Kitab Pengetahuan Bahasa,[35] yang dimaksudkan untuk membimbing mereka yang berkeinginan menambah pengetahuan bahasa, agama, dan tata laku yang benar. Sayangnya, karya tersebut tidak pernah selesai,[36] tetapi merupakan bukti keinginan Raja Ali Haji untuk membantu rakyatnya yang ingin hidup saleh dan bersikap sesuai dengan tradisi Melayu. Teks pendidikan yang lain seperti Tsamarat al-Muhimmah (Pahala Dari Tugas-Tugas Keagamaan)[37] dan Intizam Waza‘if al-Malik (Peraturan Sistematis dari Tugas-Tugas Raja)[38] yang ditulis sebagai buku peringatan waktu wafatnya Yamtuan Muda Ali pada 1857, ditujukan khususnya bagi keraton Riau-Lingga, yang berisikan nasihat akan perilaku raja dan aturan-aturan pemerintahan.

Kemahiran dalam agama, silsilah, sejarah, kesusastraan, dan hukum menjadikan Raja Ali Haji tokoh yang amat tenar.[39] Pada 1870 pengaruh politiknya menjangkau hampir empat dekade dan Belanda mengakui kepemimpinannya di kalangan masyarakat Penyengat. Sementara orang-orang Melayu menaruh respek kepada Raja Ali Haji sebagai seorang Muslim yang taat dan ahli dalam adat Belanda memandangnya sebagai bahaya terhadap kontrol administratif mereka di Riau. Residen Netscher dalam laporan pensiunnya menggambarkan Raja Ali Haji sebagai ‘cendekiawan yang sangat fanatik yang menginginkan hapusnya umat Kristen dan kekristenan‘. Bangga akan keturunan Bugisnya dan sangat menentang setiap perubahan atas adat istiadat tradisional Melayu, Raja Ali Haji bersikap antagonistis terhadap kehadiran orang Belanda dan ‘bukan kawan bagi orang Eropa‘![40]

Komentar Netscher seperti yang tertulis tidaklah simpatik, tetapi menjelaskan faktor yang mendorong Raja Ali Haji menulis dan pentingnya tulisan-tulisan tersebut sebagai usaha mencatat peristiwa-peristiwa masa lalu. Sebagai seorang Melayu keturunan Bugis, Raja Ali Haji menyadari bahwa kedudukan keluarganya dalam administrasi Riau-Lingga masih menimbulkan ketidaksenangan masyarakat. Pertentangan yang tajam antara Melayu dan Bugis ratusan tahun sebelumnya telah banyak ditulis dalam kronik-kronik dalam manuskrip-manuskrip arsip keraton dan hal itu sulit dilupakan. Sebagai kerabat dekat dan Yamtuan Muda dan sebagai penguasa dalam masalah-masalah pengetahuan, Raja Ali Haji memiliki kesempatan membaca teks-teks tersebut yang dirasakan memberinya kunci bagi pengetahuan mengenai masa lalu.[41] Itulah sebabnya ia mulai menyusun sejarah keterlibatan Bugis dalam dunia Melayu, terutama Johor, yang menjelaskan sebab musabab yang melatarbelakangi konflik-konflik dan, sebagai analogi, pelajaran yang dapat ditarik bagi generasi sekarang.

Karya terkenal yang dihasilkan adalah Tuhfat al-Nafis (Hadiah Yang Berharga), yang tampaknya merupakan karya bersama, dimulai oleh Raja Ahmad tetapi disunting dan diperbanyak oleh anaknya.[42] Selesai pada akhir 1860, Tuhfat banyak menggunakan materi yang terdapat pula dalam karya sejarah lain sebelumnya yakni Silsilah Melayu dan Bugis. Keduanya menggambarkan pengalaman ‘Lima orang Bugis bersaudara‘, leluhur pangeran-pangeran Penyengat abad ke-19, setelah meninggalkan kampung halamannya dan migrasi ke dunia Melayu. Silsilah ini lebih singkat, yang berakhir dengan sebuah syair yang menguraikan perang Bugis-Minangkabau pada tahun 1737, sedangkan Tuhfat melanjutkan cerita tersebut hingga tahun 1864 ketika Tumenggung Abu Bakar diangkat menjadi Maharaja Johor.[43]

Kedua karya tersebut terbukti merupakan sumber informasi yang berharga bagi sejarah Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya, dan deskripsi peristiwa-peristiwa yang terperinci yang menjangkau hampir dua abad dalam Tuhfat sungguh mengagumkan. Studi akhir-akhir ini mengungkapkan,[44] suatu tema pokok pembenaran dan legitimasi dari intervensi Bugis ke dalam dunia Melayu, tetapi dominasi tema tersebut telah mengaburkan unsur lain yang terdapat dalam teks. Manakala Tuhfat dianggap karya bersama dengan karya-karya Raja Ali Haji yang bersifat didaktis sebelumnya, jelas perhatiannya bukannya kepada tindakan-tindakan leluhur Bugisnya saja. Ia adalah juga seorang Melayu yang giat melindungi tradisi Melayu lama dan seorang Muslim yang taat, yang mengkhawatirkan kondisi masyarakat Islam. Maka, pandangannya mengenai masa lampau tidaklah semata-mata diarahkan pada keinginan untuk mengagungkan leluhurnya atau membenarkan peranan mereka dalam sejarah Melayu. Pada bagiannya yang pertama, Tuhfat memang merupakan catatan, sebagaimana dilihat Raja Ali Haji, mengenai hubungan antara leluhur Bugis dan raja-raja Melayu; pada bagian selanjutnya merupakan usaha mengajukan pandangan-pandangannya mengenai masyarakat seperti pernah dikemukakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya seperti dalam Tsamarat al-Muhimmah dan Intizam Waza‘if al-Malik. Karya-karya tersebut merupakan kunci untuk dapat mengerti penampilan Raja Ali Haji mengenai sejarah, dan pengaruh cita-cita Islamnya tampak jelas jika orang membaca teks-teks pelajaran teoretis dan mengidentifikasikan tema yang sama dalam Tuhfat. Selesai dikerjakan menjelang akhir hidup Raja Ali Haji, Tuhfat merupakan kulminasi dari pengalaman, kecendekiawanan, dan penelitian bertahun-tahun atas motivasi manusia dan hubungan mereka dengan Tuhan.

Persepsi Raja Ali Haji mengenai masa lampau tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pemikiran keagamaannya yang pada dasarnya dipengaruhi tulisan Abu Hamid al-Ghazali, ahli teologi Persia yang masyhur, yang wafat pada 1111 M. Pada akhir abad ke-18, karya al-Ghazali, Ihya‘ ‘Ulumul al-din (Revitalisasi dari ilmu-ilmu agama), diperkenalkan kembali pada dunia Islam dan perhatian yang timbul berlanjut sepanjang periode kebangkitan kaum Wahabi.[45] Kekaguman Raja Ali Haji terhadap al-Ghazali dapat dilihat pada seringnya ia mengacu pada Ihya‘, bahkan sering menyarankan bagian-bagian tertentu untuk dibaca lebih lanjut.[46] Penjabarannya mengenai ciri-ciri pemerintahan, Tsamarat al-Muhimmah, menampakkan sedikit persamaan dengan karya al Ghazali Nasihat al-Muluk (Nasihat untuk raja-raja),[47] uraian terkenal mengenai kemahiran memerintah gaya Islam. Kedua karya tersebut mencerminkan pandangan bahwa fungsi negara dan kewajiban utama masyarakat adalah menciptakan iklim yang mendorong pelaksanaan agama yang wajar, sehingga tiap orang dapat melaksanakan tugas spiritualnya dan mempersiapkan dirinya untuk hari kiamat. Inilah sebabnya Tuhan mengangkat raja-raja yang harus memberi teladan tingkah laku yang terpuji dan membantu manusia mempersiapkan diri bagi dunia yang akan tiba. Para raja mempunyai tanggung jawab khusus dalam mempertahankan agama karena mereka, di atas segalanya, telah dianugerahi Tuhan pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakannya. Mampu membedakan yang baik dan buruk, karenanya pula merekalah yang meletakkan aturan-aturan bagi tindak moral masyarakat.[48]

Dalam Tsamarat al-Muhimmah, Raja Ali Haji tetap menggunakan konsep idealnya mengenai raja dalam politik praktis. Raja yang jelek, tulisnya, dapat dilihat dari sikapnya yang congkak, iri hati, jahat, serakah, menghambur-hamburkan uang, tidak acuh terhadap soal-soal administrasi, penipu, tidak memiliki humor, dan bersikap menghambat.
[49] Semasa pemerintahannya tiada biaya untuk menghimpun ahli-ahli agama, sekolah-sekolah tidak diadakan, dan pendidikan merana. Rakyatnya bodoh, tidak tahu tata sopan santun, dan amoral; dalam kondisi yang demikian banyak pencuri, perampok, dan perompak.[50] Sebaliknya, seorang raja yang baik, pantang hal-hal keduniawian seperti minum arak, judi, dan sabung ayam, dan mencurahkan perhatiannya pada pembangunan masjid, asrama bagi musafir, jembatan, jalan umum, kota, rumah, saluran, kantor polisi.[51] Jika kedengkian, keserakahan, dan iri mengancam keharmonisan kerajaan, raja yang saleh menenteramkan keadaan dengan cepat mengadakan penyelidikan atas isu-isu dan melaksanakan hukum untuk mencegah pertentangan.[52] Kesejahteraan mencerminkan sifat-sifat sang raja, karena hanya rajalah yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan negara spiritual yang didambakan dan bisa memberikan kesejahteraan materiil. Di bawah pemerintahan raja yang baik, negaranya pun menjadi sejahtera.[53]

Tuhfat al-Nafis memperkembangkan argumentasi tersebut bagi orang Melayu dengan ilustrasi-ilustrasi yang diambil dari sejarah mereka sendiri. Dalam uraiannya mengenai abad ke-18 Raja Ali Haji menampakkan bahwa pada beberapa kesempatan Johor mencapai kondisi sejahtera dan damai seperti idealnya suatu kerajaan. Dalam teks tersebut jelas raja ideal yang dimaksud. Di bawah pimpinan pangeran-pangeran Johor yang terkenal, seperti Daeng Kemboja dan Raja Haji, pemerintahan dijalankan menurut hukum Tuhan dan agama Islam pun berkembang. Kekayaan datang melimpah di negara seperti itu; pelabuhan Riau penuh dengan kapal dari Benggala, Cina, Sri Langka, dan Thailand dan penduduknya sejahtera. Di negara yang demikian tidak ada pertentangan intern dan kedua kelompok masyarakat Melayu dan Bugis hidup damai.[54]

Raja Ali Haji kemudian dihadapkan pada masalah bagaimana dalam situasi demikian, konflik antara Melayu dan Bugis berkembang, karena menurut kepercayaan Islam tidak ada kekuatan merusakkan yang mengganggu ketenteraman negara ideal tersebut. Orang Islam ortodoks akan menjawab bahwa pertentangan pada abad ke-18 di Riau adalah karena takdir yang tidak dapat dibantah manusia. Penjelasan tersebut sering dijumpai dalam kesusastraan Keraton Melayu yang memandang kesusahan dan kebahagiaan adalah kehendak dan keputusan Tuhan. Walaupun Islam ortodoks umumnya menerima predistinasi, masalah tanggung jawab manusia, yang berarti juga partisipasinya dalam sejarah, sering diperdebatkan para ahli teologi Islam semenjak abad ke-8 Masehi.[55] Sulit melakukan perubahan karena Alquran sendiri berisi sejumlah kalimat yang tidak jelas, sehingga saran predestinasi maupun yang suka rela dapat mengklaim dasar skriptural bagi pandangan mereka.[56]

Barangkali gerakan pembaharuan dalam Islam, pada abad ke-19, yang menekankan lebih besar pentingnya usaha pribadi dalam masalah keagamaan, memodifikasikan penerimaan secara implisit mengenai takdir, setidak-tidaknya di kalangan para pemikir Islam. Tulisan Raja Ali Haji menekankan kewajiban individu untuk melibatkan diri dalam mencari pengetahuan,[57] dan dalam kitab Tuhfat al-Nafis tema tanggung jawab manusia tampak menjiwai seluruh teks tersebut. Kehendak Allah, yang membatasi kebebasan seseorang, menentukan garis sejarah, tetapi faktor-faktor yang membentuk episode yang spesifik dan menentukan liku-liku hubungan manusia dengan sesamanya adalah manusia sendiri. Takdir jarang disebut dalam Tuhfat, dan hanya dalam rangka peristiwa yang tak dapat dijelaskan, atau peristiwa tragis, seperti wafatnya Raja Ali Haji dalam perang melawan Belanda pada 1784. Menurut Tuhfat, adalah kebijaksanaan Allah yang mendatangkan hal tersebut dan menyebabkan kegagalan jihad untuk menunjukkan kekejaman dunia yang gemerlapan, menunjukkan bahwa kesenangan hanyalah sebentar saja, dan untuk mengingatkan hamba Allah bahwa orientasi mereka haruslah ditujukan kepada kehidupan nanti, bukan kini.[58] Raja Haji sendiri, pasrah dalam kematiannya, menjadi pahlawan di jalan Tuhan.[59]

Walaupun takdir menentukan jangka waktu hidup seseorang, menentukan nasib peperangan atau selamatnya kapal mencapai pelabuhan,[60] ada asumsi dasar dalam Tuhfat yang menyatakan bahwa kelemahan manusia dan pembangkangan terhadap hukum Allah merupakan penyebab segala konflik dan bencana yang menghinggapi masyarakat. Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji menjelaskan bahwa sikap acuh tidak acuh terhadap Allah mulai manakala Allah memerintahkan malaikat untuk tunduk kepada Adam dan hanya satu yang menolak, yakni iblis. Kesombongan ini menyebabkan iblis tidak disukai dan dibuang dari surga dan menjadi kafir. Ia membawa serta bersamanya Adam, laki-laki pertama, dan Hawa, perempuan pertama.[61]

Seperti halnya keharmonian surga rusak oleh kesombongan stabilitas dan kesejahteraan Riau pun terganggu oleh kegagalan manusia menaati ajaran Nabi dan ketidakmampuan mengatasi kelemahan diri pribadi. Kekuatan-kekuatan perusak dalam kerajaan bergerak bukan karena takdir, melainkan hasil keinginan manusia mengikuti segala keinginannya, hawa nafsunya. Yang paling merusak adalah bantahan (kesombongan, keras kepala, puas diri) dan keinginan untuk membesarkan dan mengagung-agungkan diri, seperti halnya iblis.[62]

Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa dan Bustan al-Katibin, Raja Ali Haji menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan meletusnya konflik dalam masyarakat adalah ketaatan pada hukum Allah, pemahaman dan pendalaman Alquran di bawah guru yang ahli. Bagi Raja Ali Haji, pen laku yang benar dinyatakan menurut perintah ajaran Islam. Dengan bimbingan agama, sifat tersebut yang menjadikan manusia lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain di dunia mendekatkannya kepada Tuhan — selalu (rendah hati), ilmu (pengetahuan) dan akal (nalar) — dapat dipelihara. Memiliki pengetahuan, pengertian, dan rendah hati, manusia tak akan sombong, atau mengagungkan dirinya sendiri, sebaliknya memiliki keinginan untuk mendalami kebenaran Tuhan dan akhirat.[63] Masyarakat akan beroleh kedamaian jika mereka masing-masing berusaha menjaga malu, ilmu, dan akal.

Meskipun demikian, sifat tersebut senantiasa terancam oleh ketidaktahuan manusia, karenanya usaha keagamaan tidak boleh terhenti, harus terus menerus diusahakan. Seperti dinyatakan al-Ghazali, ‘Pembangkangan terhadap Tuhan‘, karena mengikuti hawa nafsu, adalah penyakit yang terparah yang menyedihkan…. Manusia dapat menyamai malaikat dengan memurnikan keinginannya, tetapi dapat tenggelam setingkat hewan bila mengikuti hawa nafsunya.[64] Dalam sejarah Johor, Raja Ali Haji menunjukkan konsekuensi yang diperoleh karena tidak dapat mengekang hawa nafsu yang diumpamakan dengan api dalam diri manusia. Semakin lama menyala, makin sulit dipadamkan, sehingga membesar menjadi kobaran kemarahan dan membahayakan eksistensi kerajaan. Dalam konteks inilah konflik antara Melayu dan Bugis digambarkan.

Manakala orang-orang Melayu melihat (keakraban Sultan Sulaiman dengan orang Bugis), hati mereka terbakar oleh iri dan dengki yang memang telah tertanam sebelumnya. Hatinya terbakar, akal mereka mengikuti hawa nafsu, tidak mengherankan keuntungan atau kerugian yang akan menimpa mereka di dunia ini.[65]

Seperti telah digambarkan dalam Tuhfat, api kedengkian ini dimanifestasikan dalam banyak peristiwa-peristiwa fitnah (kombinasi propaganda, gosip yang jahat dan menjelek-jelekkan orang lain). Berulang kali fitnah dijadikan kambing hitam dalam konflik antara Melayu dan Bugis; Riau, yang terpecah oleh karena itu, ibarat sebuah perahu dengan dua kapten atau sebuah negeri dengan dua raja.[66] Dilakukan karena kelemahan din manusia, fitnah dapat mendatangkan kerusakan yang tidak terduga.

Namun, Riau demikian beruntung dipimpin oleh orang-orang yang berilmu, yang diperolehnya, ilmu dan akal sebagai karunia Allah. Lewat kebijaksanaan mereka perdamaian dapat dikembalikan lagi dengan dilaksanakannya sumpah setia antara orang Bugis dan Melayu dalam rangka mengontrol bantahan. Masing-masing bersumpah tidak akan mengkhianati pihak lainnya, dan menyatakan bahwa barang siapa mengingkari sumpahnya akan dihancurkan Allah, terbuang dari masyarakat (orang) yang beriman dan dikutuk di akhirat nanti.[67] Pengulangan sumpah pada waktu-waktu krisis meluruskan jalannya sejarah dengan menahan hawa nafsu dan meletakkan kembali keadaan yang seimbang di negeri tersebut.

Di pihak lain, Raja Ali Haji menyadari bahwa tahta kerajaan bukannya tidak mungkin menjadikan yang bersangkutan berambisi atau senantiasa harus pandai. Karya-karyanya yang bersifat didaktis dan etis menyatakan bahwa raja sama halnya dengan manusia lain bukannya tidak peka terhadap godaan. Kitab Tuhfat menunjukkan contoh khusus yang diambil dari sejarah Melayu. Jika raja menyerah pada hawa nafsunya, konsekuensinya sungguh besar, dan seluruh negeri akan menderita. Di Siak, misalnya, perang saudara antara dua pangeran menyebabkan penderitaan bagi rakyat, kelaparan, dan ketakutan, karena keduanya menuruti hawa nafsu mereka.[68] Penguasa-penguasa Riau pun tidak terkecuali. Dalam kerusuhan 1787, Sultan Mahmud dan Raja Indera Bungsu marah terhadap perintah keras dari Residen Belanda. Kemarahan mereka bagaikan api, menggerogoti kesabaran mereka, dan kesabaran mereka pun hilang ketika mereka mengikuti hawa nafsu mereka tanpa menghiraukan apa yang akan terjadi.[69] Jika nafsu yang tidak terkendali menguasai penguasa negeri, tiada lagi kearifan untuk membedakan yang baik dan yang salah.[70] Dalam kitab Tuhfat, bagian yang membicarakan peristiwa-peristiwa pada abad ke-18, Sultan Mansur Syah dari Trengganu adalah contoh tipe raja demikian. Berlainan dengan pangeran lain seperti halnya pahlawan Raja Haji, Sultan Mansur menonjol sebagai contoh manusia yang ingin berkuasa lebih dari orang lain dan ketidakmampuannya untuk menahan hawa nafsunya.

Catatan-catatan Belanda menunjukkan bahwa Sultan Mansur telah menimbulkan permusuhan orang-orang Melayu dengan Bugis. Menganggap dirinya sebagai pewaris sah dari Sultan Sulaiman (wafat 1760), ia telah menghimpun kekuasaan yang teramat besar dan mengecilkan banyak bangsawan Melayu terkemuka dari pemerintahan Johor.[71] Beberapa pangeran Melayu merasa bahwa hubungannya dengan Minangkabau mendatangkan noda atas Keraton Johor,[72] sedangkan sebagai pimpinan kelompok yang anti-Bugis, Sultan Mansur telah pula menimbulkan kebencian orang Bugis dan keturunan mereka. Karena dicurigai kedua belah pihak, Sultan Mansur menjadi sasaran kritik dalam pelbagai tulisan pada abad ke-18 yang dibicarakan Raja Ali Haji. Namun, untuk menggambarkan lebih jelas Sultan Mansur sebagai raja yang berusaha membesarkan diri, kitab Tuhfat menggunakan sumber teks secara berlebihan. Ketika diteliti, tampak adanya perubahan yang terselubung sehingga Sultan Mansur senantiasa ditonjolkan sebagai pelaku kebohongan yang keji dan fitnah yang ditujukan untuk mendiskreditkan orang Bugis dan menghancurkan aliansi mereka dengan penguasa Melayu.[73] Efek kombinasi dari penulisan kembali dan penafsiran ulangnya berhasil membersihkan baik raja-raja Bugis maupun Riau dari kesalahan atas putusnya hubungan Melayu-Bugis. Tuduhan justru dilancarkan di luar Kerajaan Johor, yakni pada Sultan Mansur dan pengikut-pengikutnya orang Melayu Trengganu. Ambisius, tidak dapat dipercaya, penakut, khianat, dan sombong, Sultan Mansur merupakan contoh raja yang ambisinya mengalahkan ketaatannya pada Tuhan, pelajaran dari masa lalu yang merupakan peringatan pada masa kini. Raja Ali Haji selanjutnya berbicara terhadap generasinya, ‘mereka yang datang kemudian‘. Tugas merekalah memohon kepada Tuhan untuk mengampuni dosa-dosa mereka yang merasa bersalah baik orang Melayu maupun Bugis agar kelak di akhirat mereka dapat dipertemukan kembali dalam kedamaian.[74]

Pendapat yang demikian dan perdamaian antara Bugis dan Melayu pada 1804 menandai transisi dalam kitab Tuhfat, manakala Raja Ali Haji melanjutkan uraiannya, dari uraian mengenai abad ke-18 yang sumbernya terutama tertulis (manuskrip) kemudian menguraikan peristiwa-peristiwa abad ke-19 yang dialami sendiri. Hubungan antara kedua kelompok tersebut tidak dapat diabaikan lagi. Interpretasi Raja Ali Haji mengenai masa lalu menunjukkan bagaimana perilaku manusia berpengaruh atas jalannya sejarah. Menjadi tugas generasi sekarang untuk mempelajari, berlomba dengan para orang saleh yang telah pergi, dan menjaga masyarakat sebagaimana telah dibina raja-raja yang bijaksana. Sebagai seorang Muslim yang baik, Raja Ali Haji percaya bahwa zaman keemasan peradaban manusia telah ada semenjak zaman Nabi dan guru-guru yang masyhur, tetapi kemudian nilai kehidupan menjadi semakin menurun. Manusia tidak sanggup menghentikan kerusakan yang tak terelakkan ini, tetapi dapat memperlambat prosesnya dengan berpegang teguh pada ajaran leluhur dengan mempertahankan tradisi, masa lalu, dan menjauhi inovasi.[75] Dalam meletakkan standar perilaku yang tepat dan keteladanan hidup yang saleh, masa lalu memberikan pengetahuan yang telah terhimpun berabad-abad. Perubahan pada hakikatnya adalah buruk, dan mereka yang membawa perubahan itu hanya didorong keinginan-keinginan mereka dan melupakan kesejahteraan generasi mendatang. Mengabaikannya sama halnya menolak ilmu dan akal, yang berarti kemenangan hawa nafsu.

Masuknya Barat dalam masyarakat Melayu pada abad ke-19 memperkenalkan pemikiran-pemikiran perubahan dan kemajuan dan pandangan bahwa umat manusia berjalan pada tujuan yang tak terelakkan pada perbaikan moral dan sosial.[76] Ini merupakan konsep revolusioner dalam pemikiran Melayu dan hanya sedikit saja, seperti pecinta Barat Munshi Abdullah, yang menganggap doktrin baru tersebut menarik. Dalam otobiografinya, Abdullah menuduh bangsanya yang menolak membebaskan dirinya dari masa lalu, konservatif.[77]

Ucapan Abdullah di kalangan bagian terbesar masyarakat Melayu tidak banyak beroleh perhatian,[78] tetapi, Raja Ali Haji termasuk yang turut memikirkan pula masalah modernisasi dan responsnya berbeda. Ia jelas merasakan bahwa masuknya kebudayaan Barat dan nilai-nilai yang non-Islam menimbulkan tantangan bagi masyarakat Melayu. Ia yakin, tiap perubahan terhadap adat istiadat tradisional akan berakibat kerusakan terhadap masyarakat seperti halnya bantahan atau fitnah mempercepat pengikisan nilai-nilai lama yang agung. Dan memang kerusakan yang timbul akibat inovasi tersebut telah tampak. Pertama-tama dalam bidang bahasa. Seperti halnya cendekiawan yang pendidikannya menekankan pada karya-karya cendekiawan Islam klasik,[79] Raja Ali Haji menganggap bahwa perhatian yang sungguh-sungguh terhadap tata bahasa adalah penting guna memperoleh ucapan yang tepat dan ungkapan yang halus.[80] Al Ghazali dalam bukunya Book of Knowledge (Buku Pengetahuan) telah memperdalam keahlian linguistik, salah satu ‘ilmu tambahan‘, sebagai cara untuk menambah ‘ilmu dan mendekatkan diri kepada Tuhan.[81] Tentunya pesan ini terutama berlaku bagi bahasa Arab; sarana terpilih bagi pesan-pesan Allah,[82] tetapi dalam tulisannya sendiri Raja Ali Haji menekankan bahwa sejauh mungkin Melayu harus meniru sintaksis Arab dan mencoba menghilangkan pertumbuhan yang mulai masuk sebagai akibat dan pengaruh bahasa lain. Ia terutama menyesalkan kecenderungan di kalangan orang Melayu yang meniru bahasa Inggris dan Belanda dengan menggunakan kata-kata seperti bilang (hitung) yang seharusnya cakap (bicara), dan kasi tahu yang seharusnya beritahu.[83] Pengabaian bahasa, menurut pendapatnya, berarti mengabaikan tradisi yang telah tertanam, yang tak terelakkan akan menghancurkan susunan dunia dan kerajaan![84]

Kerusakan dalam bahasa hanyalah salah satu dari turunnya nilai yang tampak oleh Raja Ali Haji mulai menghinggapi masyarakat Melayu. Kelompok Penyengat tinggal melongok ke Singapura dan daratan Johor untuk melihat cara hidup yang bertentangan dengan prinsip-prinsip anutan mereka. Di tempat-tempat demikian pengidentifikasian diri dengan Eropa, memakai baju Eropa, dan melakukan sport seperti pacuan kuda adalah kebiasaan yang telah umum di kalangan elite penguasa Melayu. Di Penyengat jelas ada keprihatinan bahwa generasi mendatang, yang terbujuk oleh daya tarik cara hidup yang demikian, akan mengesampingkan tradisi masa lalu. Yamtuan Muda Ali sendiri mengarang sebuah syair yang memberi nasihat kepada pemuda-pemuda, yang menekankan pentingnya sikap yang korek, muka yang manis, bahasa yang halus, dan ketaatan kepada adat[85] dan agama. Seorang tokoh Penyengat lain, Haji Ibrahim, mengeluh mengenai sikap acuh tidak acuh para pemuda terhadap kebiasaan lama dan keengganan mereka untuk mempelajari adat dan adab (cultured behaviour).[86] Raja Ali Haji bahkan lebih spesifik lagi, mengkritik mereka yang memakai pakaian Inggris, Belanda atau Cina: memakai celana, baju, kaos kaki dan sepatu ‘supaya di malam hari orang tidak mengenal mereka sebagai orang Melayu‘.[87] Seperti telah diperingatkan al-Ghazali; pakaian adalah untuk menutup ‘telanjang‘ dan bukan untuk menyembunyikan identitas seseorang dan ‘sembunyilah di hadapan makhluk, sehingga kamu menyeleweng‘.[88]

Adat istiadat telah ditanamkan oleh manusia-manusia suci yang memiliki ilmu dan akal; perubahan datang apabila masyarakat memalingkan dirinya dari aturan-aturan yang telah mereka ciptakan karena mengikuti keinginan hati mereka. Seperti kita ketahui, Raja Ali Haji percaya bahwa raja-raja memberikan peran khusus dalam pelestarian moralitas masyarakat dengan memberikan keteladanan perilaku. Kembali pada kitab Tuhfat, akan kita temukan dalam catatan mengenai abad ke-19, raja yang baik diidentifikasikan oleh upayanya memerintah kerajaannya dengan tradisi tertinggi dari masa lalu. Sultan Abdul Rahman (memerintah 1823-1832) sebagai contoh, diuraikan dengan penuh puji-pujian karena pangeran ini mendorong perkembangan Islam. Semasa pemerintahannya, para guru mengembangkan tarikat dan membimbing pendidikan agama sang raja dan Abdul Rahman sendiri berpakaian secara orang Arab pada salat Jumat memimpin pejabatnya dalam salat tersebut dan sering menyerukan azan.[89] Yamtuan Muda, Raja Ja‘afar (yang memerintah tahun 1805-1831) yang sama menyadari kewajibannya terhadap masyarakat, mensponsori penelitian-penelitian keagamaan dan meminta nasehat dari para rohaniwan tua dalam masalah pemerintahan. Ia tidak pernah berusaha membesarkan diri, tetapi dengan penuh kerendahan makan sisa makanan hamba sahayanya. Ia menggemari membaca Alquran dan mendengarkan tindakan raja-raja di masa lalu; ia menaruh perhatian terhadap hal-hal yang terlarang maupun yang dibolehkan.[90] Anaknya, Yamtuan Muda Ali yang (memerintah 1845-1857) adalah juga murid yang rajin dalam bidang agama, melarang tindakan yang bertentangan dengan aturan Islam — berjudi, sabung ayam, memakai emas dan sutera, dan kebebasan tingkah laku antara pria dan wanita.[91] Raja-raja seperti itu bertujuan tidak untuk menemukan hal-hal baru melainkan mengembalikan dan mengabadikan masyarakat yang lebih agung, lebih bersih seperti pernah ada di masa lalu.

Catatan-catatan Belanda memperkuat persepsi Raja Ali Haji atas raja-raja yang ‘rajin dan taat dalam agama dan terikat pada adat‘,[92] dan dalam Tuhfat pemerintahannya menjadi ukuran bagi yang lain-lain. Bukti-bukti yang ada dari abad ke-19 dari Riau menyatakan, pada umumnya raja-raja mengetahui bahwa mereka akan dinilai dengan kriteria tersebut. Sebagai contoh pada 1870, Elisa Netscher menyatakan bahwa Yamtuan Muda, seorang keponakan dari Raja Ali Haji ‘sangat saleh, para haji dan ahli agama banyak mempengaruhinya‘.[93] Dalam konteks ini tulisan dalam Tuhfat mengenai Sultan Mahmud (1823-1864), yang menolak untuk tunduk kepada perilaku standar dari para raja, merupakan keterangan tambahan penting. Penolakannya yang tegas terhadap standar perilaku yang telah ditetapkan dianggap sebagai menantang tradisi yang berlaku.

Sultan Mahmud diangkat sebagai raja oleh ayahnya yang amat mengasihinya pada 1832 ketika masih berumur sepuluh tahun.[94] Sikapnya yang menantang agama dan adat istiadat semenjak masa mudanya menjadi pembicaraan di kalangan pejabat-pejabat Belanda yang dicatat Raja Ali Haji dalam Tuhfat.[95] Sebagai pemuda, Sultan Mahmud merasakan kehidupan di Riau membosankan dibandingkan dengan Singapura dan Johor yang cepat perkembangannya menjadi dunia modern. Pada kunjungannya yang berkali-kali ke kota-kota tersebut, ia hidup bermewah-mewah dalam rangka beroleh tempat dalam masyarakat Eropa dan mengagetkan golongan Islam ortodoks karena memasuki perkumpulan rahasia.[96] Di Lingga ia membangun rumah gaya Eropa yang mahal dan mewah, yang dalam pandangan Raja Ali Haji bertentangan dengan perilaku orang Melayu yang pantas.[97]

Pemerintahan Lingga menderita karena pemborosan Sultan Mahmud dan sikapnya acuh tak acuh terhadap pemerintah, yang terutama menonjol jika dibandingkan dengan Riau, yang diperintah oleh Yamtuan Muda, seorang Bugis.[98] Pada waktu itu Residen Netscher merasa bahwa penguasa muda adalah lemah dan menyesatkan daripada bermaksud buruk, tetapi pimpinan Penyengat sangat mencela kegagalan bertindak sesuai dengan adat dan perintah tegas agama Islam. Penyimpangan Sultan Mahmud yang menyolok dari norma-norma yang telah diterima memuncak dalam usahanya menunda pengangkatan Yamtuan Muda dan menghapuskan pos itu sama sekali.[99] Kelempok Penyengat, yang sudah bersikap bermusuhan, kini terasing sama sekali. Ketika pengabaian yang terus menerus dari penguasa terhadap perintah-perintah residen dan kebijaksanaan Batavia mencapai puncak, sehingga orang Belanda memutuskan untuk memecatnya, kebanyakan bangsawan dan pangeran di Penyengat, termasuk Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, membantu mereka.

Para alim ulama Islam tradisional yang dikagumi Raja Ali Haji menganggap diri hati nurani rakyat, yang berwenang karena mereka dapat menunjuk kelemahan raja-raja.[100] Dalam karya-karya didaktisnya seperti Tsamarat al-Muhimmah dan Intizam Waza‘if al-Malik, Raja Ali Haji berusaha mengikuti teladan para pembina spiritualnya. Tsamarat al-Muhimmah, yang memuat pandangannya tentang kedudukan raja, diselesaikan pada Maret 1859, hanya tujuh belas bulan setelah pemecatan Sultan Mahmud, Oktober 1857. Pemecatan ini sangat menggemparkan banyak penduduk Kerajaan Riau-Lingga, dan di Reteh meletus juga suatu pemberontakan atas nama Sultan Mahmud.[101] Mungkin terdapat hubungan langsung antara kelakuan buruk Sultan Mahmud, pemberontakan, dan keputusan Raja Ali Haji untuk menyusun sebuah karya yang akan menetapkan (mengatur) tanggung jawab seorang penguasa dalam masyarakat. Dalam Tsamarat al-Muhimmah Raja Ali Haji dengan tegas mengatakan, seorang raja yang melalaikan agamanya dengan kata dan perbuatan, yang tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang-orang muslimin serta gagal memperbaiki nasib mereka, yang bergaul dengan wanita dengan cara yang tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi. Jabatan akan diberikan kepada "yang paling tepat".[102]

Laporan Tuhfat tentang kejadian-kejadian yang menjurus ke pemecatan jelas mencela seorang penguasa yang tidak mau menyesuaikan diri kepada contoh kelakuan raja yang diingini, meskipun penghukuman langsung dilakukan orang-orang luar, seperti Raja Siam dan residen Belanda. Bagaimanapun pada diri Raja Ali Haji telah tertanam penghormatan Melayu terhadap hubungan kerabat kerajaan dan ia tidak mengharapkan diingat sebagai seseorang yang melakukan durhaka dengan melakukan pengaduan kepada penguasa.[103] Tetapi, Sultan Mahmud jelas salah dan Tuhfat dengan hati-hati memberikan bukti-bukti kegagalannya melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai raja. Di Singapura ia terlibat dalam perbuatan-perbuatan tercela mengunjungi tempat-tempat yang tidak cocok dengan adat penguasa. Ketidakhadiran orang muda ini acap kali mendorong Raja Ali Haji menulis: agaknya lebih baik (untuk Sultan) tinggal di Lingga memperbaiki kerajaannya dan memakmurkannya.[104] Bila di rumah, kita mengatakan bahwa Mahmud menyibukkan dirinya dengan ‘hiburan iseng‘[105] dan menolak mengadakan konsultasi dengan menteri-menterinya, sebagaimana diharapkan dari seorang penguasa.

Ia tidak ingin mendengarkan nasihat atau ajaran dari kaum sesepuh, serta mengikuti hawa nafsunya dengan pengiring-pengiringnya yang muda. Inilah sumber salah paham... ia juga tidak memperhatikan keputusan-keputusan residen Riau, atau mengikuti penduduk negaranya, ia hanya mengejar keinginan-keinginannya.[106]

Jika Tuhfat dianggap bekerja sama dengan Tsamarat al-Muhimmah, kita dapat melihat bahwa Sultan Mahmud, seperti Sultan Mansur dari Trengganu, digambarkan sebagai seorang penguasa yang didorong hawa nafsu, tidak menaruh perhatian terhadap kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya sebagai penguasa, dan acuh tak acuh terhadap pelajaran dari masa yang lalu. Melalui tulisan Raja Ali, kepada mereka yang ragu-ragu diperlihatkan bahwa perbuatan Belanda dapat dibenarkan, karena hanya dengan demikian tradisi yang dihormati sepanjang masa dapat dikembalikan kepada kedudukan yang lama serta keserasian dipulihkan kepada kerajaan.

Penjelasan tentang pemecatan Mahmud adalah peristiwa terakhir yang penting dalam Tuhfat, dan Raja Ali mengakhiri epiknya dengan penggambaran ketenangan yang berikut. Paman Mahmud, Sulaiman, diangkat sebagai sultan, tetapi ia telah puas dengan menyerahkan pemerintahan dalam tangan Yamtuan Muda yang pandai. Hubungan-hubungan antara masa lalu dan masa kini diperkukuh kembali dan penguasa-penguasa Riau dan Lingga memandang lagi kepada leluhur mereka sebagai contoh-contoh kelakuan baik. Tidak ada lagi fitnah, pertengkaran atau iri hati yang mengganggu ketenangan kerajaan; agama dipelihara, adat ditegakkan, dan manusia lebih mendekati Tuhan. ”Dan inilah keadaan negara pada saat menulis sejarah ini.”[107]

Tulisan-tulisan Haji Ali dari Riau menunjukkan bahwa ia lebih daripada seorang sejarawan dalam arti sempit. Ia adalah seorang guru, seorang teolog, seseorang dengan komitmen memelihara nilai-nilai tertentu dan cita-cita, dengan rasa tanggung jawab yang dalam terhadap masyarakatnya. Pengertiannya dari masa lalu erat hubungannya dengan pandangan religiusnya yang pada pikirannya didasari karya alim-ulama Islam yang sangat dihormati. Jangkauan tulisan Raja Ali menunjukkan bahwa ia setuju dengan pendapat al-Ghazali tentang kekuasaan pena, ”lebih berkuasa daripada seribu pedang".[108] Dengan mengupas sejumlah subyek yang berbeda-beda dalam keanekaragaman jenis-jenis sastra, Raja Ali berusaha mencapai pembaca-pembaca (peminat) yang jauh lebih besar daripada kelompok kecil di Penyengat.[109] Tidak seperti penulis pada zamannya, Munshi Abdullah, ia bukan suatu suara yang terisolasi, melainkan seorang ulama (cendekiawan) yang dihormati di lingkungan luas, yang mengekspresikan pandangan kebanyakan orang Melayu yang terpelajar. Lama setelah ia meninggal, kenang-kenangannya hidup terus. Penglitograpian beberapa karyanya pada tahun 1880-an menunjukkan, ajaran Raja Ali Haji masih tetap dianggap relevan untuk masyarakat Melayu, dan pada 1896 sebuah kopi manuskrip Tuhfat disampaikan kepada residen yang dipensiunkan, sebagai hadiah perpisahan.[110] Pada awal 1890-an putra-putra Raja Ali Haji membantu dalam mendirikan suatu kelompok belajar untuk pembinaan Islam, persekutuan Rusydiah, yang menerbitkan buku dan karangan-karangan keagamaan.[111] Setelah diubah dan dikembangkan banyak gagasan Raja Ali Haji kemudian diterangkan oleh kaum muda Singapura, yang beberapa di antaranya berhubungan erat dengan kelompok Penyengat.[112]

Tuhfat al-Nafis, karya Raja Ali Haji yang paling terkenal, mengukuhkan reputasinya dalam historiografi Melayu. Meliputi seluruh dunia Melayu, karya tersebut disambut dalam skala yang tidak pernah terjadi dalam kebanyakan sastra tradisional. Bagaimanapun juga, Tuhfat bukan hanya sebuah epik sejarah, melainkan suatu pernyataan kepercayaan tempat argumentasi teolotik diterapkan kepada ikhtisar masa lalu. Pelajaran-pelajaran yang dikandung dimaksudkan baik untuk orang biasa maupun untuk penguasa sendiri. Keserasian dalam negara hanyalah mungkin kalau hubungan masyarakat dengan Tuhan juga serasi. Pertentangan-pertentangan yang merusakkan kedamaian Riau pada tahun-tahun yang lalu adalah akibat hasil perbuatan orang sendiri, dan keinginan mengikuti hawa nafsunya. Untunglah, penguasa-penguasa memiliki akal dan ilmu ditegakkan Tuhan sehingga kestabilan dapat dikembangkan dan kerajaan dapat kembali kepada keadaan sebelumnya yang serasi.

Meskipun Raja Ali Haji bukan satu-satunya orang Melayu dan abad ke-19 yang mengarang karya-karya untuk petunjuk bagi penguasa, bukan pula satu-satunya sejarawan dari zaman itu,[113] ia menonjol dari pengarang-pengarang lain karena kecakapannya, yang jelas terlihat dari Tuhfat al-Nafis, memberikan kupasan tentang sejarah Melayu dilihat dari sudut etik. Baginya pencatatan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tidak dimaksudkan untuk mendokumentasikan perubahan dan "kemajuan", melainkan untuk melanggengkan kenangan-kenangan zaman ketika standar kelakuan yang tinggi dihormati dan dilaksanakan. Adalah kewajiban raja untuk mempertahankan nilai-nilai ini, dan bilamana kewajiban ini dilupakan, akibat-akibatnya akan dirasakan seluruh masyarakat. Mengubah "aturan" masyarakat berarti mengundang malapetaka.[114] Manusia mempunyai kewajiban memelihara apa yang disampaikan oleh zaman yang lalu agar memegang bayangan dari kehidupan bahagia, yang pernah dimilikinya, jauh sebelum zamannya. Inilah moral yang dipegang sejarah, tidak hanya untuk waktu sekarang, melainkan untuk hari kemudian.



* Tulisan ini telah dimuat dalam buku Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Anthony Reid & David Marr (Ed.), yang diterbitkan oleh Grafiti Press, Jakarta, 1983.

[1] A. H. Hill, Hikayat Abdullah (Kuala Lumpur, 1970) hlm. 33-4; J.L Swellengrebel, In Leijdeckers Voetspoor (VII, no. 67) (‘s-Gravenhage, M. Nijhoff, 1974) hlm. 185-91; S.A. Buddingh, Neerlands Oost Indie Rotterdam M. Wijt, 1859-61) Jilid III, hlm. 19. Perhatian terhadap kesusastraan Riau dan tradisi linguistik telah dibangkitkan. Lihat U.U. Hamidy, ‘Kitab-Kitab yang telah dikarang oleh Sastrawan dan Penulis Riau‘, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia 6, i (Agustus 1975). Hlm 50-5.

[2] E. Netscher, ‘Raadgeving, Maleische Gedichte van Raja Ali, Onderkoning van Riouw‘, TBG, 7 (1858) I-II, hlm. 67.

[3] Lihat appendiks bibliografi.

[4] Ini termasuk Kepulauan Riau dan Lingga, daerah-daerah di pantai Timur Sumatra, Siantan, dan kelompok Anambas.

[5] Untuk pembicaraan mengenai periode ini dalam sejarah Johor, lihat L.Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 1641-1728 (Kuala Lumpur dan London, O.U.P., 1975), chs. VII-X.

[6] Ibid., hlm. 293-7.

[7] Lihat C.H. Wake, ‘Nineteenth Century Johore: Ruler and Realm in Transition‘ (Ph.D. Thesis, The Australian National University, 1966) pp. 18-20; E. Netscher, De Nederlanden in Djohor en Siak (Batavia, Bruining and Wijt, 1870) hlm. 225-45; C.A. Trocki, ‘The Temenggongs of Johor, 1784-1885‘ (Thesis Ph.D., Cornell, 1975) hlm. 47-57.

[8] Untuk suatu ikhtisar mengenai peristiwa-peristiwa yang meliputi episode ini lihat Wake, hlm. 21-33.

[9] Notes and Queries No. 4, diterbitkan oleh JSBRAS, 17 (Juni 1886) hlm. 113-13.

[10] Hikayat Abdullah, hlm. 63, 162.

[11] Untuk angka-angka yang menunjukkan kejatuhan perdagangan Riau dengan Singapura, lihat ‘Vrijhaven van Riouw‘, TBG 3 (1857) hlm. 48-57.

[12] G.F. de Bruijn Kops, ‘Sketch of the Rhio-Lingga Archipelago‘, JIAEA, 9 (1855) hlm. 97-8; J.T. Thomson, ‘A Glance at Rhio‘ JIAEA, 1 (1847) hlm. 69.

[13] Lihat C. van Angelbeek, ‘Korte Schets van het Eiland Lingga and deszelfs Bewoners‘, VBG, 11 (1826) hlm. 30, 36.

[14] Pada abad ke-19, guru-guru agama senantiasa berdatangan ke Riau. Lihat Raja Ali Haji, Tuhfat Al-Nafis (Singapura, 1965) hlm. 340, 342, 347, 349-50, 364.

[15] Netscher, ‘Raadgeeving‘, hlm. 67.

[16] P.C. Hoynck van Papendracht, ‘Some Old Private Letters from Cape, Batavia and Malacca (1778-1788)‘ JMBRAS, 3, i (1924) him. 22.

[17] Raja Ali Haji, misalnya, mengikuti perkembangan Perang Crim dengan penuh minat. E. Netscher, Mernorie van Overgave, 1870 (Koninkijk Institut, Handschrift 420) fol. 12.

[18] Misalnya, Aturan Setia Bugis Dengan Melayu, Leiden Cod. Or.) 1724.

[19] Swellengrebel, hlm. 188.

[20] Sebagai contoh, Haji Ibrahim, Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Djohor (pertama diterbitkan di Batavia pada 1868 dan dicetak ulang pada 1875); juga H. von de Wall, ‘Kitab Perkeboenan Djoeroetoelis‘, TBG, 19, i (1870) hlm. 571.

[21] Anak lelaki dan perempuan para pangeran.

[22] Sebagai contoh, Syair Kumbung Mengindera (Klinkert 190, Leiden University Library), ditujukan pada raja Sapiah, anak perempuan Raja Ali Haji: Syair Saudagar Bodoh (Klinkert 104, Leiden University Library) oleh anak perempuan lain, Raja Kalzum, dan Syair Burung oleh anak laki-laid Raja Ali Haji, Raja Hassan. Lihat H. Overbeeck, ‘Malay Animal and Flower Shaers‘, JMBRAS, 7, ii (1934) hlm. 108-48.

[23] Lihat R.O. Winstedt, A History of Classical Malay Literature (Kuala Lumpur, O.U.P., 1969) hlm. 153; dan R. L. Archer, ‘Muhammedan Mysticism in Sumatra‘, JMBRAS, 15,11 (1937) hlm. 21-49.

[24] J. Noorduyn, ‘Some Aspects of Buginese Historiography‘ in D.G.E. Hall (ed.) Historians of Southeast Asia (London, O.U.P. 1961), hlm. 34; dan A.A. Cense, ‘Old Buginese and Makassarese Diaries‘, B.K.I., 122 (1966) hlm. 420 mengenai tradisi sejarah orang Makassar yang kuat, Lihat tulisan L.Y. Andaya dalam jilid ini.

[25] Lihat A.F. von de Wall, ‘Beknopte Geschiedenis van het Vorstenhuis en de Rijksinstellingen van Lingga en Riau‘, TBG, 6 (1892), hlm. 323; Thomson, hlm. 71; and L Andaya, hlm. 295.

[26] Tuhfat, hlm. 379; Raja Ali Haji, Silsilah Melayu dan Bugis (Johor, 1956) hlm. 1.

[27] Untuk keterangan yang lebih luas mengenai riwayat hidup Raja Ahmad, lihat V. Matheson. “Tuhfat al-Nafis (The Precious Gift). A Nineteenth Century Malay History Critically Examined” (Thesis Ph.D. Monash, 1973) hlm. 1120-8.

[28] Leiden Cod. Or. 1761.

[29] Untuk pembicaraan mengenai ini, lihat Matheson, hlm. 12-33.

[30] Tuhfat, hlm. 350. Untuk keterangan mengenai Nakshabandiya tarikat, lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford, Clarendon Press, 1971) hlm. 130.

[31] Netscher mengakui bahwa ia beroleh banyak keterangan mengenai silsilah keturunan raja dari Raja Muda Ali yang sekarang dan terutama kepada saudaranya, Raja Abdullah, yang luas pengetahuannya. Netscher, ‘beschrijving‘, hlm. 149.

[32] E. Netscher, ‘De Twaalf Spreukgedichten‘, TBG, 2 (1853) hlm. 13.

[33] P.P. Roorda van Eysinga, ‘Abdoel Moeloek, Koning van Barbarije, TNI, 9, iv (1847).

[34] Netscher, ‘De Twaalf Spreukgedichten‘, TBG, 2 (1853), hlm. 13.

[35] Lihat indeks bibliografi untuk judul yang lengkap.

[36] Mungkin disebabkan oleh kematian Raja Ali Haji.

[37] Diselesaikan pada Maret 1859 dan di Lingga pada 1886-87. Lihat indeks bibliografi untuk judul lengkap.

[38] Lihat indeks bibliografi di bawah Mukkadimah fi Intizam. Karya-karya lain ditujukan kepada Raja Ali Haji yang barn ditemukan telah disusun Hamidy, hlm. 51-2.

[39] Pada 1868, ketika Temenggung Abu Bakar dari Johor ingin beroleh gelar yang lebih besar, ia mengirim utusan ke Penyengat untuk konsultasi dengan Raja Ali Haji mencari gelar yang sesuai. R.O. Winstedt, ‘A History of Johore‘, IMBRAS, 10, iii (1932) hlm. 108-9.

[40] Netscher, Memorie, jilid 12-14.

[41] Kebanyakan karya Raja Ali Haji beroleh inspirasi dan membaca teks lain. Ia merasa berkewajiban mengemukakan bahan-bahan yang ada kepada publik yang lebih luas. Lihat sebagai contoh, penjelasannya mengenai alasannya menulis Silsilah Melayu dan Bugis, hlm. 1-2. Lihat juga Mohd. Khalid Saidin, ‘Naskah-naskah Lama Mengenai Sejarah Negeri lohor‘, Dewam Bahasa, 15, viii (1971) hlm. 341. Untuk uraian mengenai penggunaan sumber-sumber Raja Ali Haji dalam Tuhfat, Lihat Matheson. ‘The Tuhfat al Nafis: Structure and Sources‘, BKI. 128 iii (1971) hlm. 379-90.

[42] Raja Ahmad mungkin menyelesaikan kerangka Tuhfat pada 1866, sedangkan Raja Ali Haji menyusun Silsilah pada 1865. Lihat indeks bibliografi.

[43] Tuhfat, hlm. 379.

[44] L. Andaya, hlm. 8; Matheson, ‘Structure and Sources‘, hlm. 388-90.

[45] H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago University of Chicago Press, 1947) hlm. 32. Referensi awal mengenai al-Ghazali di Indonesia dalam tulisan Raffles 18 ms. dari C.C. Brown (tr.) ‘Sejarah Melayu‘, JMBRAS, 25, ii (1925) hlm. 180; dan Drewes (ed. & tr.), The adstomitiom of Seh Bari (Den Haag, M. Nijhoff, 1969) hlm. 39, 75ff. Karya ‘Ihya‘ telah dapat dinikmati pembaca orang-orang Melayu setelah diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Abd. Al-Samad dari Palembang (1789) dan Daud ibn Abdullah ibn Idris dari Patani (1824). Lihat Winstedt, History of Clasiccal Malay Literature, hlm. 152-3.

[46] Misalnya, Tsamarat al-Muhimmah, hlm. 41, 45; dan Kitab, hlm. 42, 44, 109-9. 257, 258, 324, 384, 395, 457. Uraian Al-Ghazali mengenai pentingnya penjagaan jasmani diikhtisarkan dalam Kitab, hlm. 108-9. Lihat juga W.M. Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (Karya-karya klasik mengenai etika dan agama di Timur dan di Barat no. 8) (London, G. Allen dan Unwin, 1963) hlm. 131-41; Tuhfat hlm. 316-336.

[47] F. R. C. Bagley (tr.), Ghazalis Book of Council for Kings (Nasihat al Muluk) (London, OUP 1964).

[48] Ibid., hlm. X1, x1iii, 46; Tsamarat al-Muhimmah, hlm. 58-9, 69; Ph.S. van Ronkel, ‘De Maleische Schriftleer en Spraakkunst‘, TBG, 44 (1901) hlm. 518-20; Kitab, hlm. 285.

[49] Tsamarat al-Muhimmah, hlm. 49-70.

[50] Ibid., hlm. 58-9.

[51] Kitab, hlm. 42-3.

[52] Tsamarat al-Muhimmah, hlm. 55-6; Intizam Waza‘if al-Malik, hlm. 15.

[53] Kualitas ideal seorang penguasa yang menjadi tema pokok dalam tulisan-tulisan Islam mengenai keahlian bernegara. Lihat J.A. Williams, Themes of Islamic Civilization (Berkeley. University of California Press, 1971) hlm. 59-129.

[54] Tuhfat, hlm. 36, 97, 130, 142, 157, 188.

[55] M. S. Seale, Muslim Theology (London, Luzac, 1964) hlm. 16-36; W.M. Watt, What is Islam? (London, Longmans, 1968) hlm. 22-47; idem, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburg, Edinburg University Press, 1973) hlm. 82-118; Williams, hlm. 174-8.

[56] A. J. Westinck, The Muslim Creed (Cambridge, F. Cass, 1965) hlm 51; lihat juga Watt, What is Islam? hlm. 40 dan The Formative Period, hlm. 93.

[57] van Ronkel, hlm. 518.

[58] Tuhfat, hlm. 103, 110.

[59] Ibid., hlm. 203, 207.

[60] Ibid., hlm. 38, 78, 90, 119, 197, 201.

[61] Kitab, hlm. 268, 324.

[62] Ibid., dan Tuhfat, hlm. 92, 110, 219, 340.

[63] Kitab, hlm. 227-85; Tsamarat al-Muhimmah, hlm. 4; van Ronkel, hlm. 518-24; lihat juga Nabih Amin Faris (tr.), The Book of Kmowledge (Lahore, M. Ashraf, 1962), hlm. 35-6, 221-8.

[64] L. Zolondek, Book XX ofal-Gkazal‘s Ihya‘Ulum al-Din (Leiden, E.J. Brill, 1963) hlm. 10-12.

[65] Tuhfat, hlm. 103, 110.

[66] Ibid., hlm. 245. Contoh lebih lanjut dari fitnah, hlm. 110, 154.

[67] Ibid., hlm. 127, 247, 346.

[68] Ibid., hlm. 92.

[69] Ibid., hlm. 219.

[70] Dalam Tsamarat al-Muhimmah, hlm. 58-9, Raja Ali Haji mencatat bahwa ‘akal mampu membedakan moral‘.

[71] KA 2885 OB 1761, Utusan A. Salice pada Gubernur Dekker dan Boelen di Malaka setelah kunjungannya ke keraton Riau, diterima 28 Februari 1759; juga catatan hariannya, sebelum 1 Mei 1759.

[72] Lihat B.W. Andaya, ‘An Examination of the Sources Concerning the Reign Sultan Mansur Syah of Terengganu (1741-1793), dengan referensi khusus pada Tuhfat al Nafis‘ JMBRAS, 49, ii (1976) hlm. 90-1.

[73] Ibid., hlm. 92-103.

[74] Tuhfat, hlm. 230.

[75] G.E. von Grunebaum, Medieval Islam (Chicago, University of Chicago Press, 1947) hlm. 240.

[76] Untuk uraian mengenai konsep ini, lihat J.B. Bury, The Idea of Progress (New York, Macmillan, 1955), terutama bab XVIII.

[77] Untuk perasaannya lihat Hikayat Abdullah, hlm. 312.

[78] A Sweeney dan N. Phillips, The Voyages of Mohammad Ibrahim Munshi (Oxford di Asia memoir historis) (Kuala Lumpur, O.U.P., 1975) hlm. xxiv.

[79] Raja Ali Haji banyak menggunakan sumber dari karya al-Ghazali, tetapi ia juga mengacu kepada Jawharat al-Tawhid karya Ibrahim bin Ibrahim bin Hasan al-Lakani (wafat 1041 M). Teks-teks Arab lainnya yang dipelajari di Penyengat didaftar dalam Tuhfat, hlm. 268, 335.

[80] Grunebaum, hlm. 241. Lihat juga Kitab, 262.

[81] Faris, hlm. 39. Lihat juga komentar Munshi Abdullah mengenai pentingnya Bahasa dalam Hikayat Abdullah, hlm. 315.

[82] Grunebaum, hlm. 37. Raja Ali Haji merekomendasikan penggunaan bahasa Arab bagi orang-orang Melayu, dan mengingatkan mereka bahwa mereka yang fasih berbahasa bahasa yang suci berdosa bilamana tidak menggunakannya. Kitab, hlm. 412.

[83] Kitab, hlm. 262, 412.

[84] Ibid., hlm. 221.

[85] Netscher, ‘Raadgeving‘.

[86] Haji Ibrahim, hlm. 51.

[87] Jika malam tiada kenal akan orang Melayu...‘ Kitab, hlm. 262.

[88] Watt, The Faith of al-Ghazali, hlm. 92; Kitab, hlm. 262.

[89] Tuhfat, hlm. 266.

[90] Ibid., hlm. 267-8.

[91] Ibid., hlm. 346-48.

[92] Lihat komentar Angelbeek mengenai kesalehan Sultan Abdul Rahman dan para bangsawan dalam Report (Koninklijk Instituut Handschrift 494).

[93] Netscher, Mestorie, jilid 11.

[94] Tuhfat, hlm. 326; Overzigt Staatkundig van Nederlands Indie, 1838 (Koninklijk Instituut Handschrift 115) n.p.

[95] Misalnya, ia mengabaikan hukum Islam dengan memelihara sejumlah kawanan anjing berburu, Overzigt; Lihat juga V. Matheson, ‘Mahmud, Sultan Riau dan Lingga (1823-1864) Indonesia, 13 (April 1972) hlm. 139.

[96] Ia mengambil selir seorang wanita Eurasia dan darinya lahir seorang anak lelaki. Netscher, De Nederlanden, hlm. 299; Matheson, ‘Mahmud‘, hlm. 139.

[97] Matheson, ‘Mahmud‘, hlm. 139; Netscher, De Nederlanders, hlm. 299; Kitab, hlm. 411; TJ. Willer, Memone (Ministry of Colonies, V 30 Januari 1858. 3/110), jilid 6.

[98] Willer, Mentorie, jilid 7. Lihat ‘Bijdrage tot de Kennis der Residentie Rio‘, TNI, 15, i-vi (1853) hlm. 413.

[99] Kemungkinan agar ia beroleh pendapatan Yamtuan Muda dari pajak dan konsesi-konsesinya bagi dirinya sendiri, juga untuk melampiaskan kemarahannya terhadap Pangeran Bugis dari Riau yang nasihat-nasihat dan otoritasnya menjengkelkannya.

[100] Grunebaum, hlm. 248.

[101] Tuhfat, hlm. 364-5; Netscher, De Nederlanders, hlm. 309-29.

[102] Tsamarat al-Muhimmah, hlm. 15-16.

[103] L. Andaya. hlm. 8. Adalah penting bahwa Tuhfat menekankan para pangeran dan Riau-Lingga tidak mau nama mereka dihubungkan dengan pencopotan Sultan Mahmud, karena mereka tidak ingin disebut khianat. Yang melakukan tindakan itu haruslah pemerintah Belanda. Tuhfat, hlm. 360-1.

[104] Tuhfat, hlm. 338.

[105] Ibid., hlm. 339-40.

[106] Ibid., hlm. 340, 365.

[107] Ibid., hlm. 379.

[108] Disitir dalam Bustan al-Katibin. Lihat van Ronkel, hlm. 521; dan Watt, The Faith of al-Ghazali, hlm. 140.

[109] Raja Ali Haji rupanya menyadari kemungkinan untuk beroleh publik yang luas melalui publikasi. Ia sendiri telah menggunakan buku-buku litografi. Tuhfat, hlm. 2.

[110] Koninklijk Instituut Hanadschrift 630.

[111] W. R. Roff, The Origins of Malay Nationalism (Yale Southeast Asia Studies 2) (New Haven, Yale U.P., 1967) him. 62, lihat juga B.W. Andaya ‘From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonical Allies by the Rulers of Riau, 1899-1914:‘ Indonesia, 24 (1977) hlm. 126-7.

[112] Roff, hlm. 61-2 V. 12 September 1907, No. 67. G.A. Hazeau pada Gubernur Jenderal 30 Agustus 1906 (Department of Internal Affairs, The Hague).

[113] Sebagai contoh, lihat teks Leiden. Cod. Or. 6057, dikarang untuk pegangan penguasa Siak pada tahun 1818, oleh Syaikh Abdullah. Salinan teks dibuat di Penyengat pada 1881 dan 1885. Lihat G. Bowtell, ‘The Hikayat Mareskalek‘ (BA. Hons. Thesis, The Australian National University, 1973).

[114] Kitab, hlm. 221.

0 comments:

Post a Comment

BLOG PARIMBUNIS

BLOG INI ADALAH DIKHASKAN UNTUK AHLI KELUARGA PARIMBUNIS, BERINTERAKSI DAN MENYALUR MAKLUMAT SEMASA, SEMUGA DAPAT MENGERATKAN HUBUNGAN SIRATULRAHIM.

Bercakap-cakaP


ShoutMix chat widget

AsmauL Husna

All Malaysian Bloggers Project

Jutawan Emas

Click here ContacT me!! Dealer: Abdullah Johor Bahru, Johor. En. Abd.Lah @ Abdullah Bin Awang Mobile: 016-716 6515 Email: q_eyda@yahoo.com.sg

Blog Archive

PengunjunG

blogspot hit counter

Follow me