Memutuskan Hubungan Kekeluargaan
Manusia takkan mencapai kehidupan tenteram tanpa pergaulan di dalam
suatu kelompok tertentu yang mengikat dirinya dengan hak-hak dan
berbagai kewajiban di dalam kelompok tersebut. Sebab, andaikata
kehidupan seorang manusia itu tanpa mengelompokkan diri pada suatu
kelompok tertentu, maka ia bagai kambing yang memisahkan diri dari
“regunya”. Ia akan merana dan hidup sengsara.
Yang dimaksud dengan kelompok di sini adalah hubungan dalam bentuk
kekeluargaan. Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang merupakan
sumber kebahagiaan bagi masyarakat itu sendiri. Dengan melalui hubungan
kekeluargaan, seseorang bisa memperoleh hak-haknya yang patut
dikabulkan. Selain itu ia akan merasa tenteram dan aman di bawah
naungannya. Karenanya, Islam mengajarkan agar para pemeluknya selalu
berpegang pada tata hubungan kekeluargaan ini dan mendahulukan
kepentingannya ketimbang kepentingan lainnya. Di lain pihak Islam juga
mengancam orang-orang yang memutuskan hubungan ini, dan akan mendapatkan
siksa yang pedih. Sebab, perbuatan tersebut merupakan tindakan dosa.
Di dalam Islam, kekeluargaan mempunyai dua kata sinonim. Terkadang
diistilahkan dengan arham (famili), dan terkadang dengan istilah
dzawi’l-qurba (kerabat terdekat).
Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an
yang menerangkan pengertian dzawi’l-qurba ialah : “Dan berikanlah
kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan”. (Q.S. 17 : 28).
Di dalam ayat
lain Allah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah : ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. (Q.S. 2 : 215).
Al-Qur’an juga memberikan prioritas tinggi terhadap kerabat dekat untuk
menerima perhatian (kebaikan) dan diutamakan kepentingannya lebih
daripada lainnya.
Di dalam Al-Qur’an dikatakan mengenai
al-arham : “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lainnya dan (peliharalah)
hubungan silaturahmi”. (Q.S. 4 : 1).
Ayat tersebut
memerintahkan kepada kita agar bertakwa kepada Allah atau melaksanakan
segara perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Setelah itu
Allah memerintahkan menyambung hubungan silaturahmi dan memenuhi
hak-haknya, serta jangan memutuskan hubungan tersebut.
Di
dalam hal ini Allah berfirman yang melarang pemutusan hubungan
silaturahmi : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka
itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka
dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”. (Q.S. 47 : 22-23).
Sehubungan dengan pengertian ayat tersebut, Rasulullah bersabda :
الرّحم معلّقة بالعرش تقول: من وصلني وصله الله ومن قطعي قطعه الله رواه البخارى ومسلم
“Silaturahmi digantungkan di atas ‘Arasy (Menyambung persaudaraan
dengan orang-orang yang masih ada hubungan famili, baik yang muhrim
ataupun bukan. Caranya ialah dengan memberikan pertolongan baik berupa
material ataupun moril. Dan menurut pengertian secara globalnya ialah
menolong orang yang masih ada hubungan famili menurut kemampuan yang
ada.) , ia berkata : Barang siapa menyambungkan hubungannya, maka Allah
akan menyambungkannya, dan barang siapa yang memutuskannya, maka Allah
akan memutuskan hubungan silaturahmi dari ‘Arasy (Hadits riwayat Bukhari
dan Muslim.)”.
Rasulullah juga pernah bersabda :
مامن ذنب اججدر ان يعجّل الله لصاحبه العقوبة فى الدّنيا مع ما يدخّرله فى
الاخرة من: البغي وقطيعة الرّحم. رواه البخارى والترمذى وابن ماجه
“Tak ada suatu perbuatan dosa apapun yang lebih berhak disegerakan
hukumannya oleh Allah di dunia ini, di samping yang akan diterimanya di
akherat, selain daripada perbuatan zina dan memutuskan hubungan
kekeluargaan” (Hadits riwayat Bukhari, Turmudzi dan Ibnu Majjah.).
Sabda Nabi yang lain :
لايدخل الجنّة قاطع رحم (رواه مسلم)
“Takkan bisa masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturahmi)” (Hadits riwayat Muslim.).
Rasulullah juga menganjurkan kepada umatnya agar mempererat hubungan silaturahmmi :
من كان يؤمن با لله واليوم الاخر فليكرم ضيفه، ومن كان يؤمن با لله واليو
الاخر فليصل رحمه، ومن كان يؤمن با لله واليوم الاخر فليقل خيرا أوليصمت
(رواه البخاري ومسلم)
“Barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka sambunglah hubungan silaturahmi. Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia
berkata yang baik atau diam” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Rasulullah juga menerangkan dampak positif bagi orang yang melakukan hubungan silaturahmi :
من أحبّ ان يبسط له فى رزقه، وينسأله فى اثره فليصل رحمه (رواه البخارى ومسلم)
“Barang siapa yang ingin agar rezkinya diperbanyak dan umurnya
diperpanjang, maka sambunglah pertalian silaturahmi” (Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim).
Hikmah yang terkandung di dalam
pelaksanaan silaturahmi, atau kenapa Islam mementingkan masalah ini
karena adanya faktor penting, yaitu faktor kejiwaan. Dari sini seorang
akan mengharapkan kebaikan bagi kerabatnya sendiri. Dan apabila tidak
demikian, maka perbuatannya termasuk berdosa.
Seorang kaya,
apabila tidak bersedia menyantuni kaum miskin yang bukan keluarganya,
maka kemarahan si miskin tersebut tidak akan seberapa dibandingkan
dengan apabila si miskin tersebut ternyata keluarganya sendiri.
Pada jaman dahulu ada seorang penyair yang mengatakan :
وظلم ذوى القربى أشدّ مضاضة على النّفس من وقع الحسّام المهنّد.
“Perbuatan aniaya dari kerabat sendiri lebih pedih dirasakan oleh hati daripada bacokan pedang yang tajam”.
Perbuatan aniaya yang dilakukan kerabatnya sendiri akan menyebabkan
berkobarnya rasa dengki dan iri hati. Sebab, biasanya kaum kerabat akan
lebih mengetahui rahasia kerabatnya sendiri. Dan jika salah satu kerabat
sudah terjangkit penyakit ini, maka dengan mudah akan membalas sakit
hatinya kepada famili yang berbuat menyakitkan.
Islam
bertujuan membangun masyarakat yang penuh rasa kasih sayang dan saling
menolong. Karenanya, Islam telah menentukan orang-orang yang paling
berhak, yaitu kerabat. Di dalam hukum waris, Islam telah menentukan
tinggalan mayit sebagai harta waris yang diberikan kepada kaum kerabat,
sesuai dengan urutan dekat-tidaknya ahli waris dengan mayit.
Allah berfirman : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S. 4 : 7).
Dan sebagai bukti yang kuat bahwa Islam memperhatikan
terhadap masalah kekeluargaan ialah, Islam mewajibkan kepada orang-orang
yang mampu agar memberikan nafkah kepada orang-orang tidak mampu dari
kerabatnya sendiri, baik anak, cucu; ayah atau kakek dan lain
sebagainya.
Imam Ahmad Ibnu Hanbal mengatakan bahwa wajib
memberi nafkah kepada ahli waris yang miskin. Hal ini telah ditetapkan
oleh Al-Qur’an, yang pengertiannya mencakup wajib memberi nafkah kepada
ayah, dan wajib pula bagi seorang membayar upah penyusuan dan
pemeliharaan anak.
Allah berfirman : “Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah kar
Memutuskan Hubungan Kekeluargaan
SILATURRAHIM
- Berbuat baik kepada orang berbuat jahat kepadanya
- Memaafkan orang yang zalim kepadanya
- dan loman kepada orang yang bakhil kepadanya
- Siapa yang berjanji kepadanya maka harus ditepati baik kepada muslim atau kafir
- Dan kepada keluargamu harus kau hubungi baik ia muslim atau kafir
-
dan siapa memberi amanat kepadamu harus kau kembalikan
kepadanya baik ia muslim atau kafir
Ka'bul- Ahbaar berkata: "Demi Allah yang membelah laut untuk Musa a.s. dan Bani Israil, tertulis didalam kitab Taurat: "Takutlah kepada Tuhanmu dan berbaktilah kepada ibu bapamu dan sambunglah hubungan kerabatmu, nescaya Aku tambah umurmu dan Aku mudahkan kekayaanmu, dan Aku jauhkan kesukaranmu."
- Mendapat keridhoan Allah s.w.t. sebab Allah s.w.t. menyuruh silaturrahim
- Menggembirakan mereka kerana ada hadis yang mengatakan bahawa seutama-utama amal ialah menyenangkan orang mikmin
- Kegembiraan malaikat kerana malaikat senang dengan silaturrahim
- Mendapat pujian kaum muslimin
- Menjengkelkan iblis laknatullah
- Menambah umur
- Menjadi berkat rezekinya
- Menyenangkan orang-orang yang telah mati kerana ayah dan nenek-nenek itu senang jika anak cucunya bersilaturrahim
- Memupuk rasa cinta dikalangan kekeluargaan sehingga suka membantu bila memerlukan bantuan mereka
- Bertambahnya pahala jika ia mati sebab selalu diingati kepadanya jika telah mati dan mendoakan kerana kebaikannya
- Orang yang menyambung hubungan kekeluargaan diberkati umurnya dan dilapangkan kuburnya dan rezekinya
- Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan ditinggali anak-anak yatim lalu dipeliharanya sehingga kaya mereka atau mati
- Orang yang membuat makanan lalu mengundang anak-anak yatim dan orang-orang miskin
- Langkah menuju sembahyang fardhu dan
- Langkah menuju silaturrahim kepada kerabat yang mahram
- Siapa yang selalu sedekah sedikit atau banyak
- Orang yang menghubungi kerabat
- Orang yang selalu berjuang untuk menegakkan agama Allah s.w.t.
- Orang yang selalu berwuduk dan tidak memboros penggunaan air
- Orang yang tetap taat kepada kedua ibu bapanya
Mushaf Alquran Kerajaan Riau-Lingga
Mushaf Kerajaan Riau-Lingga dengan iluminasi gaya Pantai Timur Semenanjung koleksi Museum Linggam Cahaya Daik-Lingga.
F-DOK/ASWANDI SYAHRI
Aswandi Syahri
ALQURAN adalah ‘penghulu’ dari segala kitab. Oleh karena itu, selain menyimpan sejumlah manuskrip kitab sejarah, sastra, hukum, dan lain sebagainya, istana Riau-Lingga di Pulau Penyengat dan Daik-Lingga juga mempunyai beberapa buah mushaf atau naskah Alquran tulisan tangan yang indah dan penting.
Sejauh ini, seperti terungkap dalam hasil penelitian Khazanah Manuskrip Alquran di Kepulauan Riau (2012) oleh Ali Akbar dari Bayt Alquran-Jakarta, telah dapat dikenal pasti sembilan buah mushaf yang berasal dari zaman kerajaan Riau-Lingga. Tersebar di dua pusat pemerintah kerajaan di Pulau Penyengat dan Daik-Lingga.
Dua diantaranya kini berada dalam simpanan Museum Linggam Cahaya, Daik-Lingga, dan isanya menjadi koleksi Masjid Pulau Penyengat.
Lazimnya, mushaf adalah sebuah kitab Alquran yang istimewa. Ditulis dengan khat yang indah dan diberi hiasan (iluminasi) mewah, beperada air emas pada beberapa halaman dan bagian-bagian tertentu.
Dua buah mushaf yang kini berada dalam simpanan Museum Linggam Cahaya dan enam mushaf lainnya yang berada di Pulau Penyengat memperlihatkan kenyataan itu: berhiaskan iluminasi yang indah dan mewah. Sehingga benar-benar mengukuhkan kitab yang berisi kalam ilahi itu sebagai ‘penghulu’ dari segala kitab yang ada di muka bumi Allah ini.
Oleh karena itu, sebuah mushaf tak hanya berisikan teks ilahiah semata. Pada lembar-lembar halamannya juga terekam jejak-jejak seni, sejarah, dan kebudayaan yang dibawa oleh sang penyalin mushaf melalui goresan kalamnya.
Dengan bantuan ilmu sejarah dan kajian filologi yang mendalam terhadap sebuah mushaf, akan tersibak sisi-sisi sejarah dan kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan masyarakat dan negeri tempat mushaf tersebut berada.
Dalam kempatan ini akan diperkenal dua mushaf yang berasal dari zaman kerajaan Riau-Lingga, yang kini berada dalam simpanan Masjid Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang.
Salinan Abdulrahman Stambul
Mushaf pertama berukuran 40 x 25 cm. Ditulis di atas ketas Eropa dengan ketebalan 7 cm. Alquran bersejarah ini sangat terkenal dan dikenal luas, karena satu-satunya mushaf dari beberapa buah mushaf milik Masjid Pulau Penyengat yang dipajang sebagai ‘perhiasan’ masjid.
Alquran indah ini diletakkan di atas sebuah rehal antik berukir yang diselubungi vitrin kaca berlapis ultraviolet filter, tepat di bawah lampu Kraun hadiah Maharaja Prusia. Entah berapa ribu jamaah dan pengunjung Masjid Pulau Penyengat yang telah melihat dua halaman mushaf indah ini yang terbuka sepanjang tahun.
Sebuah caption tentang tentang mushaf ini menyebutkan ianya telah selesai disalin pada tahun 1867. Penyalinnya adalah seorang penduduk Pulau Penyengat bernama Abdulrahman. Beliau terkenal mahir dalam menulis khat yang indah, dan pernah dikirim oleh kerajaan Riau-Lingga ke Mesir untuk memperdalam ilmu agama.
Sekembalinya dari Mesir, Abdulrahman menjadi guru di Pulau Penyengat, dan semakin terkenal dengan seni khat indahnya yang kemudian disebut ‘khat gaya Istambul’. Karena itu pula, nama Istambul (Turki) melekat dibelakang nama batang tubuhnya: Abdulrahman Stambul.
Kepiawaian Abdulrahman dalam seni khat dan kedalaman pengusaan ilmu agamanya, membuat mushaf ini istimewa. Ia banyak menggunakan huruf “Ya” busra dan beberapa rumah huruf yang titiknya sengaja disamarkan. Sehingga, ketika membacanya seseorang cenderung menggunakan interprestasi individu sesuai dengan kadar ilmu yang dikuasainya.
Goresan kalam Abdulrahman Stambul ini adalah sebuah mushaf yang indah. Berhiaskan iluminasi perada air emas, yang menurut hasil kajian Dr Annabel Teh Gallop dari British Library London, dikenal sebagai iluminasi gaya “Pantai Timur” Semenanjung.
Jejak Abdulrahman Stambul tak hanya terdapat pada salah satu mushaf indah koleksi Masjid Pulau Penyengat, tapi juga menghiasi kemegahan interior salah satu istana Sultan di Negeri Terengganu, Malaysia.
Disalin Bandar Kedah Negeri Padang Saujana
Mushaf kedua usianya jauh lebih tua, dan dihiasi dengan iluminasi yang dikenal oleh kalangan filolog sebagai gaya “Bugis” atau gaya “Sulawesi Selatan”. Mushaf yang kondisinya agak rusak karena bahan tinta yang mengandungi besi (iron gall) ini, disimpan pada salah satu almari peninggalan Kutubkhanah Marhum Ahmadi di Masjid Pulau Penyengat.
Pembacaan ulang terhadap kolofon (penjelasan oleh penyalin mushaf) yang terdapat di halaman akhir mushaf ini oleh Dr. Annabel The Gallop dari Biritis Library dan Ali Akbar dari Bayt Alquran Jakarta, telah mengoreksi banyak hal atas hasil pembacaan sebelumnya.
Mushaf ini disalin di Bandar Kedah, Negeri Padang Sirjana (Sejana atau Saujana?) pada 25 Ramadhan 1166 Hijriah bersamaan dengan 26 Juli 1753 Miladiah. Jadi, bukan disalin di Negeri Padang Saujan, Riau, seperti hasil pembacaan sebelumnya. Penyalinnya adalah Ali bin Abdullah bin Abdulrahman al-Jawi al-Buqisi yang berasal daerah bernama Tempe di Negeri Wajo, Sulawesi.
Angka tahun pada kolofon ini menunjukkan masa-masa pemerintahan Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II yang memerintah antara tahun 1746-1777 Miladiah. Seperti dicatat Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, Kedah punya hubungan politik dan kerap melibatkan Upu-Upu Bugis di Riau dalam urusan politik mereka sejak masa pemerintah Daeng Marewah Yang Dipertuan I (1722-1729).
Apa rahasia disebalik nama Bandar Kedah di Tanah Semenanjung yang dicantumkan dalam kolofon sebagai nama tempat mushaf itu disalin?
Ali Akbar dari Bayt Alquran Jakarta, mengaitkannya mushaf ini dengan peristiwa penyerangan Raja Haji Engku Kelana Pangeran Sutawijaya ke Kedah. Seperti dicatat Raja Ali Haji Haji dalam Tuhfat al-Nafis, datuknya, Raja Haji Fisabilillah pernah menyerang Negeri Kedah ketika ia masih menjabat Kelana Calon Yang Dipertuan Muda pada akhir tahun 1770 atau awal 1771 Miladiah.
Peperangan itu berakhir dengan perdamaian setelah melalui mediasi oleh Raja Lumu Sultan Salehuddin Selangor. Bukan tidak mungkin mushaf tersebut adalah bagian peperangan yang berakhir dengan perdamaian yang intinya menurut Raja Ali Haji adalah “pekerjaan mufakat sama-sama Islam.”
Hasil pembacaan paling mutakhir terhadap kolofon mushaf ini adalah sebagai berikut:
Wa kana al-faragh min tahsili haza al-mushaf al-karim nahara al-Jum’at min Ramadhan fi waqti al-‘asri madat khamsa wa ‘isyruna yauman min syahri Ramadhan al-mubarak fi Bandar Kedah qaryah Padang Sirjana fi zamani Maulana Paduka Sri as-Sultan al-A’zam wa al-Khaqan wa al-A’dal al-Afkham Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam Syah sanat 1166 alf wa mi’at wa sitt wa sittun min al-hijrat an-nabawiyyah ‘ala sahibiha afdal as-salati wa azka at-taslim bi-khatt al-faqir al-khaqir ad-da’if al-mu’tarif bi az-zanbi wa at-taqsir ar-raji ila ‘afwi rabbihi al-karim Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi asy-Syafi’i mazhaban at-Tempe baladan wa maulidan wa watanan wa an-Naqsyabandi … … lillahi Maulana as-Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum upu ghafara Allahu lahum wa li-walidaihim wa li-jami’il-muslimin wal-muslimat wal-mu’minin [wa al-mu’minin] wal-mu’minat al-ahya’i minhum wal-amwat.
Oleh Ali Akbar, isi kolofon dwi-bahasa (Arab dan Melayu) ini diterjemakan sebagai berikut: “Selesai menyalin mushaf yang mulia ini siang Jumat, Ramadhan pada waktu asar, 25 bulan Ramadhan yang penuh berkah di Bandar Kedah Negeri Padang Sirjana pada zaman Maulana Paduka Sri Sultan Yang Agung, Pemimpin Yang Adil Yang Besar Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam Syah tahun 1166 seribu seratus enam puluh enam Hijrah Nabi pemilik salawat yang utama dan salam yang suci, dengan tulisan yang fakir yang hina yang lemah yang mengakui dosanya dan kekurangannya yang mengharapkan ampunan Tuhannya Yang Mulia, Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi, Syafi’i mazhabnya, Tempe daerahnya dan kelahirannya serta negerinya, Naqsyabandi … … Maulana Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum upu. semoga Allah mengampuni mereka dan orang tua mereka serta semua kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mu’minat yang masih hidup dan yang telah wafat.”
‘Silsilah’ mushaf kedua ini unik dan menarik. Terutama bila dilihat dari gaya tulisan, kehalusan iluminasi, dan gaya iluminasi-nya yang khas “Bugis” atau “Sulawesi Selatan.”
Hasil penelusuran Ali Akbar dari Baty Alquran Jakarta berhasil mengungkap sesuatu yang penting. Mushaf ini diyakini masih ‘satu keluarga dekat’ dengan empat mushaf lain, yang berada di tempat lain, yaitu: (1) Mushaf koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta nomor A.49, dengan tarikh Sya’ban 1143 Hijriah bersamaan dengan Februari/Maret 1731 Miladiah; (2) sebuah mushaf Nusantara koleksi The Aga Khan Trust di Jenewa, Swiss, bertarikh 25 Ramadan 1219 Hijriah bersamaan dengan 28 Desember 1804 Miladiah; (3) Mushaf Sultan Ternate, bertarikh 9 Zulhijah 1185 Hijriah bersamaan dengan 14 Maret 1772 Miladiah; dan (4) satu sebuah mushaf koleksi Museum Babullah, istana Kesultanan Ternate, tanpa kolofon. ***
RAJA AHMAD RIAU
Hanya berbagi informasi..
RAJA AHMAD RIAU
Pengasas ‘al-Ahmadiah’ di Singapura
Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH
DIRI dan jiwa mengembara dari tempat yang kecil dan terpencil ke
Singapura, Johor dan Mekah akhirnya membuka usaha kemuncaknya di
Singapura.
Itulah insan keturunan kaum bangsawan Riau bernama Raja
Haji Ahmad bin Raja Haji Umar Tengku Endut yang diperkenalkan artikel
ini. Dari tempat yang kecil sebuah
pulau, iaitu Pulau Penyengat Indera Sakti, bekas pusat Kerajaan
Riau-Lingga, Johor dan Pahang di sanalah Raja Ahmad dilahirkan. Dan
terpencil, nun jauh di sana Pulau Midai di Laut Cina Selatan.
Ayahnya Raja Haji Umar Tengku Endut itu dalam beberapa halaman Tuhfah
an-Nafis ada disebut oleh saudaranya Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad
Riau pujangga Melayu yang sangat terkenal itu, namun yang saya rakamkan
di sini banyak perkara yang tidak sempat ditulis oleh Raja Ali Haji.
Walau bagaimanapun tulisan ini adalah sumber yang sahih kerana banyak
hal saya dengar sendiri daripada Raja Haji Ahmad dalam tahun 1950-an
hingga 1960-an, termasuk juga sumber-sumber yang lain dari kerabat
keluarga ini. Raja Haji Umar Tengku Endut adalah orang pertama dilantik
oleh Sultan Riau menjadi Amir (Ketua Pemerintahan wakil raja) di seluruh
Tokong Pulau Tujuh yang sekarang dikenali beberapa kelompok kepulauan
yang terkenal.
Yang paling terkenal sekarang ialah Kepulauan Natuna.
Dia terkenal kerana diketemukan minyak dan gas. Sekarang dibentuk
sebuah kabupaten dinamakan Kabupaten Natuna, pusat pemerintahannya
Ranai. Setelah Natuna mulai terkenal nama-nama yang dahulu terkenal
seumpama Kepulauan Siantan, Kepulauan Jemaja, dan lain-lain kurang
dipercakapkan orang. Kepulauan Serasan pula terletak yang paling Sararak
(di bahagian utara).
Susur galur Raja Haji Ahmad dari pihak sebelah
ayahnya tidak perlu saya bicarakan di sini kerana telah saya tulis
sebelum ini dan mudah mendapatkannya dalam susur galur kaum raja-raja
Riau-Lingga atau pun Johor atau pun Selangor. Dari pihak sebelah ibunya
pula memang tidak dibiasakan orang kecuali salasilah yang ditulis oleh
abang saya Muhammad Zain Abdullah. Dalam tahun 1950-an beliau bersama
saya mendengar daripada Haji Wan Abu Bakar saudara sepupu Raja Haji
Ahmad daripada pihak sebelah ibu.
Bahawa ibu Raja Haji Ahmad bernama
Hajah Nik Wan Siti binti Nik Wan Muhammad Nara, berasal dari Natuna.
Asal usul selanjutnya dari Patani dan Kelantan. Datang ke Natuna
terlebih dulu dan Batu Bahara di Sumatera. Ibu Hajah Nik Wan Siti
bernama Wan Qamariyah binti Encik Wan Mat Thalib, berasal dari
Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam salasilah yang saya peroleh di
Pontianak menyebut Wan Qamariyah binti Encik Wan Mat Thalib bin Encik
Wan Jaramat/Orang Kaya Setia Maharaja Lela Pahlawan Tambelan bin Encik
Wan Umar/Megat Laksamana bin Encik Wan Utsman/Orang Kaya Megat Patan di
Pahang bin Encik Wan Ahmad/Tuan Qadhi Menteri Danageraha Habung. Encik
Wan Ahmad/Tuan Qadhi Menteri Danageraha Habung inilah ulama yang bersama
Sultan Melaka yang hijrah ke Batu Sawar, Johor, selanjutnya ke Bintan,
selanjutnya ke Minangkabau, selanjutnya ke Kampar.
Beberapa orang
keturunannya berpatah balik ke Johor, Pahang dan lainnya, ramai yang
menjadi pembesar. Keturunan beliau juga menjadi pembesar-pembesar dalam
beberapa kerajaan Melayu, termasuk Pontianak dan Cam yang menyatu dengan
keturunan yang berasal dari Patani.
Hendaklah dikenalpasti bahawa
dalam sejarah Riau terdapat dua orang tokoh yang bernama Raja Ahmad.
Seorang adalah anak Raja Haji asy-Syahidu fi Sabillilah, dan seorang
lagi ialah cicitnya. Cicit Raja Haji adalah Raja Haji Ahmad yang
pertama. Peranan kedua-dua tokoh itu sama penting, namun Raja Haji Ahmad
bin Raja Haji Umar Tengku Endut tidak dibicarakan dalam Tuhfat
an-Nafis, salasilah Melayu dan Bugis dan sejarah-sejarah Riau lainnya.
Hal tersebut disebabkan sewaktu Raja Ali Haji (saudara kandung Tengku
Endut) mengarang pelbagai karyanya, Raja Haji Ahmad bin Tengku Endut
masih kecil.
Raja Haji Ahmad yang pertama digelar orang Engku Haji
Tua. Daripada khazanah peninggalan keturunan beliau ada dicatatkan
bahawa Raja Haji Ahmad ketika mudanya amat gemar memancing ikan di laut.
“Pada suatu masa Raja Haji Ahmad sedang memancing di laut ... (tak
dapat dibaca) berdekatan dengan sebuah pulau, di depan muka selat Tiong,
maka datanglah sebuah kapal kepunyaan orang barat. Tiba-tiba
dilanggarnya sampan Raja Ahmad sampai karam. Sebaliknya pada waktu itu
Raja Ahmad dapat berpegang pada kapal orang barat itu, lalu naik ke atas
kapal tersebut. Lalu dihamuknya segala orang dalam kapal itu sehingga
habis.”
Setelah orang-orang kapal itu mati maka Raja Ahmad susah
pula bagaimana akan membawa kapal itu masuk ke Tanjung Pinang sedangkan
kapal itu sangat besar, tentu tidak dapat dikayuhkan. Sedangkan dia
hanya seorang diri. Pada waktu itu terbit fikirannya, “Baik aku tunda
saja kapal ini dengan sampanku supaya dapat aku bawa masuk ke Tanjung
Pinang.” Maka Raja Ahmad turun ke sampannya. Lalu dikayuhnya masuk ke
selat Tiong sampai ke Pulau Bayan ... " Selanjutnya diceritakan dari
kisah di atas tergubahlah seuntai pantun:
Anak ulat di buku kayu,
Anak Belanda main teropong,
Besar daulat Raja Melayu,
Kapal ditunda dengan jongkong.
Pencetus usaha
Raja Haji Ahmad Muda adalah cucu Raja Haji Ahmad Engku Tua setelah
memperhatikan banyak kegoncangan dalam pemerintahan Riau-Lingga, telah
menghadap Sultan Abdur Rahman Mu'azzam Syah. Kata beliau kepada sultan,
“Pada pandangan patik di belakang hari kaum kita akan disingkirkan
Belanda. Kita akan papa kedana.
Akibat papa kedana kaum kita Melayu
boleh menukar agama daripada Islam kepada agama Serani. (Maksudnya
Nasrani atau Kristian). Patik mohon keizinan Paduka untuk membangun satu
syarikat perniagaan.” Titah baginda Sultan Abdur Rahman, “Bagaimana
yang elok menurut engkau perbuatlah ! Aku sangat-sangatlah bersetuju.”
(Ucapan Raja Haji Ahmad tahun 1961 di rumahnya Istana Laut, Pulau
Penyengat).
Setelah mendapat persetujuan daripada Sultan Abdur
Rahman Mu'azzam Syah, maka Raja Haji Ahmad memanggil kaum intelektual
kerajaan Riau bermusyawarat. Di antaranya ialah Raja Ali bin Raja
Muhammad Tengku Nong, Raja Haji Idris bin Tengku Endut, Raja Haji
Ja'afar bin Tengku Endut dan Raja Haji Muhammad bin Raja Ali. Dari situ
mereka bersepakat untuk mendirikan sebuah perniagaan untuk
mempertinggikan imej orang Melayu Islam terutama kerabat mereka. Sebagai
langkah awal mereka membuka tanah perkebunan.
Oleh sebab
tanah-tanah di sekitar Pulau Bintan kurang subur untuk perkebunan,
selain tanah-tanah itu telah dikuasai oleh tauke-tauke bangsa Cina, Raja
Haji Ahmad terpaksa mengarahkan tumpuan ke pulau-pulau yang masih
kosong. Pulau-pulau tersebut ialah di kawasan Tukong Pulau Tujuh. Dengan
sebuah perahu layar dia menuju ke Pulau Midai kerana di sana telah ada
wakil sultan sejak tahun 1302 H/1883 M. Kebetulan pula wakil itu adalah
saudara kandungnya, iaitu Raja Haji Ilyas bin Tengku Endut.
Dari
Pulau Midai yang kecil terpencil di Laut Cina Selatan itu bermulalah
segala kegiatan Syarkah Ahmadi Midai. Dari situ sebuah cawangan dibuka
di Singapura, iaitu Mathba'ah Al-Ahmadiah atau Al-Ahmadiah Press 101
Jalan Sultan Singapura 7. Sejarah berdirinya Syarkah Ahmadi & Co.
Midai dan cawangan Al-Ahmadiah Singapura secara jelas diceritakan oleh
Raja Haji Ahmad dalam suratnya yang bertarikh 17 Ramadan 1373 H kepada
Haji Wan Abdullah bin Haji Wan Abdur Rahman saudara sepupunya.
Beberapa perkara yang penting di antaranya saya petik, "Dan tentang
pertanyaan adinda permulaan mendirikan Ahmadiah Midai ialah kekanda
tarikhkan mendirikan rumah di laut Sabang Barat di hadapan rumah tauke
Aniu. Lihatlah di dalam jurnal kekanda di Ahmadi dan Surat Kebenaran
dari Yang Dipertuan Besar Riau masih ada kekanda simpan tinggal di
Penyengat ... Maka pada masa itu berjalanlah perniagaan Ahmadi hingga
kekanda dipanggil oleh Yang Dipertuan Besar Riau kerana muafakat hendak
membeli kapal yang bernama Kapal Karang ... "
Setelah Kapal Karang
dibeli maka terjadilah perkongsian antara Syarikat Ahmadi dengan
Syarikat Batu Batam yang dipunyai oleh Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi.
Syarikat Batu Batam ini diuruskan oleh anaknya, Raja Ali Kelana.
Syarikat ini tidak dapat bertahan lama kerana dikhianati oleh beberapa
peniaga Cina di Singapura. Walau bagaimanapun dengan kebijaksanaan Raja
Haji Ahmad dan anak saudaranya, Raja Ali bin Raja Haji Muhammad Tengku
Nong (cucu Marhum Mursyid), Ahmadi & Co. Midai tidak dapat
dipermainkan oleh peniaga-peniaga Cina di Singapura.
Raja Haji Ahmad
memang diakui seorang tokoh Riau yang sangat teliti dalam bidang
pentadbiran. Dalam salah satu buku yang tersimpan di Ahmadi & Co.
Midai telah ditemui tulisan ini. “Pada 10 Syaaban 1324 H bersamaan 17
September 1906 M dimulai membuka kedai di Pulau Midai, Sabang Barat”.
Sewaktu Raja Haji Ahmad berada di Mekah hubungan komunikasi
surat-menyurat antara beliau dengan Raja Ali bin Raja Muhammad Tengku
Nong tidak pernah terputus. Dalam surat Raja Ali yang bertarikh 28 Rejab
1332 nombor 19 dan 92 kepada Raja Haji Ahmad di Mekah ada dinyatakan
bahawa syarikat Ahmadi akan mengembangkan perniagaannya. Raja Haji Ahmad
bersetuju. “Syahdan adapun muafakat Paduka anakanda hendak membesarkan
perniagaan Ahmadiah, dihamburkan modalnya di Pulau Tujuh hingga ke
Singapura, maka pekerjaan itulah seelok-elok pekerjaan menurut peraturan
orang-orang Eropah membesarkan pekerjaan dengan muafakat. Maka
sangatlah ayahanda perkenan akan muafakat itu ...”
Setelah Raja Ali
mendapat persetujuan Raja Haji Ahmad, dengan Akta Midai, 1 Syaaban 1333 H
bersamaan 14 Jun 1915 M maka rasmilah pembukaan cawangan Ahmadiah Pulau
Tujuh-Singapura yang berpejabat di Palembang Road No. 18B, Singapura.
Cawangan itu kemudiannya berpindah ke Minto Road No. 50.
Cawangan
ini berfungsi menguruskan hasil bumi dan hasil laut yang datang dari
Pulau Tujuh, Sumatera dan Malaya. Dengan memakai tanda Syarikat Ahmadi
& Co. Midai cawangan Singapura, syarikat tersebut melakukan kegiatan
eksport hasil bumi dan hasil laut ke benua Eropah. Selain itu syarikat
itu juga mengimport barangan dari Eropah, India dan Cina ke Singapura.
Pendek kata, Ahmadiah cawangan Singapura adalah sebagai lambang
kemampuan bangsa Melayu dalam bidang perdagangan pada zaman itu. Pada
hari Jumaat 20 Rabiulawal 1339 H bersamaan 3 Disember 1920 M muafakat
pula mendirikan percetakan terkenal dengan nama Mathba’ah Al-Ahmadiah
atau Al-Ahmadiah Press 101 Jalan Sultan Singapura.
Sejarah menuntut
ilmu* Raja Haji Ahmad menyerahkan pimpinan Syarkah Ahmadi & Co.
Midai kepada Raja Ali (cucu Marhum Mursyid) pada 1914 untuk mendalami
pelbagai bidang ilmu.
* Di Mekah - berguru dengan Syeikh Muhammad bin Ismail al-Fathani dan Syeikh Daud bin Mushthafa al-Fathani (ilmu keislaman)
* Beliau belajar ilmu al-Quran daripada Syeikh Abdullah bin Qasim Senggora.
* Pernah mengembara ke beberapa negeri di Asia Barat serta mengunjungi Calcutta dan Bombay di India.
* Beliau juga adalah pengasas syarikat Ahmadi & Co. Midai pada 10
Syaaban 1324 H bersamaan 17 September 1906 di Pulau Midai, Sabang Barat.
Sejarah Pulau Penyengat.
Selamat Membaca... Semoga Bermanfaat..
Sejarah Pulau Penyengat..
SUATU hal yang tercatat dalam sejarah adalah bahwa mesjid ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang utuh. Harap diingat, Penyengat pada akhirnya tidak saja sebagai tempat berkedudukannya seorang Yang Dipertuan Muda atau semacam Perdana Menteri Kerajaan Melayu Riau-Lingga, tetapi juga tempat kedudukan Sultan sejak tahun 1900 dengan segala macam pembangunan fisiknya; sebutlah di antaranya berbagai macam istana, mahkamah, rumah sakit, listrik, dan jaringan telepon yang tersedia sebelum abad ke-20.
Alkisah, nama pulau Penyengat muncul dalam sejarah Melayu pada awal abad ke-18 ketika meletusnya perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang kemudian melahirkan Kerajaan Siak di daratan Sumatera (masih di Riau). Pulau ini menjadi penting lagi ketika berkobarnya perang Riau (akhir abad ke-18) pimpinan Raja Haji Fisabilillah yang pada tahun 1997 diangkat sebagai pahlawan nasional. Raja Haji menjadikan pulau ini sebagai kubu penting yang dijaga oleh orang-orang asal Siantan, dari kawasan Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan.
Cerita rakyat menyebutkan, nama pulau tersebut diambil dari nama binatang yakni penyengat (sebangsa lebah), semula dikenal sebagai tempat orang mengambil air dalam pelayaran di kawasan ini. Konon, suatu kali para saudagar yang mengambil air di situ diserang binatang tersebut. Pihak Belanda sendiri menjuluki pulau itu dengan dua nama yakni Pulau Indera dan Pulau Mars. Kini pulau itu lebih dikenal dengan nama Penyengat Inderasakti.
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah, sehingga pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Perhatian itu semakin mantap dinikmati Penyengat, ketika beberapa tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga.
Dengan pengalamannya sebagai pengusaha timah di Semenanjung Malaya dan selalu berpergian ke berbagai tempat sebelum diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda, Raja Jaafar membangun Penyengat dengan cita-rasa pemukiman yang molek. Sejumlah pengamat asing menyebutkan, Penyengat ditata sebaik-baiknya tempat yang terlihat dari penyusunan pemukiman, keberadaan tembok-tembok, saluran air, dan jalan-jalan. Pada gilirannya, Sultan Abdurrahman Muazamsyah, tahun 1900 memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke Penyengat.
Setelah menolak menandatangani politik kontrak dengan Belanda dan melakukan berbagai macam bentuk perlawanan, Sultan Abdurrahman Muazamsyah diturunkan dari tahta oleh penjajah. Tak seorang pun orang Melayu yang bersedia menjadi Sultan setelah itu, Abdurrahman Muazamsyah bahkan mengilhami orang-orang Riau meninggalkan Penyengat menuju Singapura dan Johor tahun 1911. Hanya beberapa ratus orang penduduk dari 6.000 orang penduduk waktu itu yang tinggal di Penyengat setelah peristiwa tersebut.
Dengan demikian, bangunan-bangunan kerajaan terbiarkan, bahkan dijarah. Selentingan dari penduduk terdengar cerita tentang bagaimana di antara para bangsawan mengharapkan agar bangunan-bangunan yang ada hendaklah dirubuhkan daripada diambil oleh Belanda. Tindakan semacam itu tidak mungkin dilakukan terhadap Mesjid Sultan, malahan rumah ibadah ini dipelihara baik sebagaimana mestinya sebuah rumah ibadah.
Sebenarnya, Mesjid Sultan di Pulau Penyengat sebagaimana disebutkan dalam Tuhfat al-Nafis (buku sejarah Melayu) karya Raja Ali Haji, dibangun seiringan dengan dihadiahkannya pulau tersebut kepada Engku Putri Raja Hamidah oleh Sultan Mahmud. Cuma saja, waktu itu, mesjid tersebut terbuat dari kayu. Raja Jaafar yang membangun Penyengat sebagai bandar modern hanya pernah memperlebar mesjid itu karena penduduk Pulau Penyengat semakin banyak.
Dalam buku Mesjid Pulau Penyengat yang disusun Hasan Junus disebutkan, pembangunan mesjid itu secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844), menggantikan Raja Jaafar. Tak lama setelah memegang jabatan itu yaitu pada tanggal 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk ber-fisabilillah atau beramal di jalan Allah.
Caranya adalah dengan membangun mesjid di atas tapak mesjid yang lama. Suatu mesjid yang dapat meninggalkan zaman yaitu dapat digunakan mulai saat dibina sampai kepada anak cucu mendatang. Seruan ber-fisabilillah itu sangat kuat bergaung, setelah seruan serupa dikumandangkan dalam perang Riau, sehingga berduyun-duyunlah masyarakat datang dari berbagai tempat untuk bergotong-royong. Khusus pada sepekan pertama, para lelaki selain penjaga malam, dilarang keluar rumah agar siangnya dapat menyumbangkan tenaganya untuk mesjid. Akhirnya, pembuatan fondasi mesjid selesai dikerjakan selama tiga pekan.
Tidak saja tenaga, mereka juga menyumbangkan makanan seperti beras, sagu, dan lauk-pauk termasuk telur ayam. Makanan itu berlimpah-ruah, bahkan konon putih telur sampai tidak habis dimakan. Atas saran tukang pada bangunan induk mesjid, putih telur itu akhirnya dicampur dengan semen untuk perekat batu. Itulah sebabnya mengapa banyak masyarakat menyebutkan bahwa mesjid tersebut dibuat dari telur.
Kini kawasan mesjid itu berukuran 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya adalah 29,3 x 19,5 meter, disangga oleh empat tiang. Lantai bangunannya dibuat dari batu bata tanah liat. Di halaman mesjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat musyawarah. Selain itu terdapat juga dua balai, tempat orang biasanya menghidangkan makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa yang disediakan pengurus mesjid setiap hari seperti juga tahun ini. Khusus bangunan induk, Raja Hamzah Yunus mengatakan, “Tidak ada perubahan semenjak pertama dibangun oleh Raja Abdul Rahman.”
Tak pelak lagi, keberadaannya memang amat lain dibandingkan mesjid semula yang terbuat dari kayu. Seperti dikisahkan dalam Mesjid Pulau Penyengat, semula mesjid itu berlantai batu merah empat persegi, sedangkan dindingnya terbuat dari kayu cengal (Balanocarpus heimii) yang didatangkan dari Selangor (kini masuk Malaysia). Atapnya terbuat dari kayu bekian. Hanya terdapat sebuah menara setinggi 12 hasta, ditambah sebuah kubah berukuran 17 hasta. Mesjid ini diberi pagar hidup dengan pohon-pohonan yang tumbuh merimbun.
Patutlah diakui bahwa bentuk Mesjid Sultan di Penyengat kini sangat unik. Sulit bagi orang untuk menentukan asal arsitekturnya. Ada yang mengatakan, mesjid ini bergaya India berkaitan dengan tukang-tukang dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura. Tetapi yang jelas, arsitektur mesjid merupakan gaya campuran dari berbagai wilayah budaya seperti Arab, India, dan Nusantara. Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Sultan ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.
Terdapat 13 kubah di mesjid itu yang susunannya bervariasi seperti ada “kelompok” kubah dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian 18,9 meter, maka dapatlah dijumlahkan bahwa bubung yang dimiliki mesjid tersebut sebanyak 17 buah. Ini diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari semalam yakni subuh (dua rakat), zuhur (empat rakaat), asyar (empat rakat), maghrib (tiga rakaat), dan isya (empat rakaat).
Keunikan di dalam mesjid masih banyak. Paling menarik perhatian adalah terdapatnya mushaf Alquran tulis tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul tahun 1867. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Disebabkan tempat belajarnya, penulisan mushaf Alquran itu bergaya Istambul yang dikerjakannya sambil mengajar agama Islam di Penyengat.
Alquran tulis tangan lain yang ada di mesjid itu dan tidak diperlihatkan kepada umum, ternyata lebih tua yakni dibuat tahun 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran, bahkan terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu terhadap kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa di sisi lain, orang-orang Melayu tidak saja menulis ulang mushaf, tetapi juga coba menerjemahkannya.
Tentu saja mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada umum karena sudah amat rusak. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan mesjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, Kutub Khanah Marhum Ahmadi, yang tidak terbawa bersama eksodusnya masyarakat Riau awal abad ke-20 ke Singapura dan Johor. Dalam suatu kunjungannya tahun 1970-an, Buya Hamka menilai bahwa buku-buku tersebut merupakan buku-buku penting yang tinggi nilainya dalam Islam.
Benda yang juga cukup menarik perhatian di mesjid ini adalah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Sebuah sumber menunjukkan bahwa mimbar ini sengaja ditempah di Jepara, Jawa Tengah, sebanyak dua mimbar. Satu mimbar diletakkan di Mesjid Sultan di Penyengat ini, sedangkan mimbar lain yang berukuran lebih kecil, diletakkan pada mesjid di Daik. Jepara, memang sudah lama dikenal di Riau, bahkan misi dagang Riau yang dipimpin Raja Ahmad, sempat berada di wilayah itu tahun 1826. Di antara anggota misi ini adalah pujangga Raja Ali Haji yang keranda (peti mati) untuknya sempat juga dibuat di Jepara karena ia sakit keras ketika berada di situ.
Hasan Junus mengatakan, di dekat mimbar itu disimpan sepiring pasir yang dikatakan berasal dari Makkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lain semacam permadani Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua yang dikenal sebagai bangsawan Riau pertama mengerjakan haji tahun 1820-an, hasil perdagangannya di Jawa sampai ke Betawi. Pasir tersebut senantiasa digunakan masyarakat dalam upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi kanak-kanak.
penampilan suasana dalam Idul Fitri dan lintasan sejarah yang dikandung Mesjid Sultan itu yang agaknya “mengusik” hati orang luar datang mengerjakan shalat Idul Fitri atau Jumat (lihat: Naksabandiyah dan Berbagai Kegiatan).
Pada gilirannya, kunjungan pendatang dari luar itu merupakan hikmah tersendiri bagi Mesjid Sultan. Ini terbukti banyaknya uang terkumpul dari infak dan sedekah pengunjung. Seorang pejabat Departemen Perhubungan di Jakarta beberapa tahun lalu sempat terkagum-kagum sambil mengatakan bagaimana sebuah mesjid yang berada di desa dengan mata pencaharaian penduduk adalah buruh dan pegawai negeri, memiliki kas di atas Rp 100 juta.
Keterangan terbaru menyebutkan, kas tersebut kini sudah membengkak menjadi Rp 200 juta lebih. Uang inilah yang dikelola untuk berbagai kegiatan seperti pendidikan keagamaan bagi kanak-kanak. Setiap bulan Ramadhan, pengurus menyediakan makanan berbuka puasa bagi 40 orang. Tak ada syarat untuk itu kecuali memang berpuasa dan memerlukannya. Selebihnya, dana tersebut diperlukan untuk memakmurkan mesjid.
Bayangkan saja, untuk memperindah mesjid, baru-baru ini dipasang lampu mewah pada dua menara mesjid seharga Rp 12 juta. Tak pelak lagi, dari Tanjungpinang, menara mesjid itu terlihat bagai mercusuar-seperti menjalani fungsi mercusuar sebenarnya agar orang tidak tersesat berlayar pada malam hari. Menaranya yang terang benderang terlihat seperti dua belah tangan yang mengaminkan doa ke langit, sekaligus mengingatkan orang akan wujud Allah.
Pengurus mesjid pula tampaknya tidak terlalu ortodoks terhadap pengunjung yang setiap hari mengunjunginya dalam angka relatif-dapat mencapai 1.000 orang pada hari Minggu atau pada hari libur. Mereka dipersilakan melihat-lihat keadaan mesjid setiap saat. Tentu saja, kegiatan melihat-lihat itu tidak lepas dari usaha agar tetap mengingatkan diri kepada Allah, sehingga seorang pengunjung tetap dituntut berlaku sopan. Pengunjung lelaki misalnya, tidak diperkenankan naik ke mesjid kalau hanya memakai celana pendek. Selain itu orang tidak dibenarkan mengambil foto di dalam mesjid.
Tak hanya sampai di situ. Fasilitas mesjid dapat digunakan untuk berbagai kegiatan sosial keagamaan. Dua balai yang berada di halaman mesjid, dapat dijadikan tempat diskusi keagamaan dan kebudayaan. Tahun lalu misalnya, pengurus membenarkan pengisi kegiatan Hari Raja Ali Haji mengadakan kegiatan di dalam kompleks mesjid seperti bimbingan penulisan kreatif dan latihan membacakan syair dan Gurindam Duabelas.
Ya, Mesjid Sultan merupakan salah satu dari belasan obyek wisata di Pulau Penyengat sebagai obyek wisata andalan Riau, apalagi dalam saat hari raya seperti sekarang. Tetapi untuk soal agama, Mesjid Sultan tidak bisa ditawar-tawar karena fungsinya tetaplah sebagai rumah ibadah. Mesjid ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa pandangan terhadap dunia tidak mungkin ditutup, tetapi pandangan kepada akhirat tetap dibuka selebar-lebarnya