Mushaf Alquran Kerajaan Riau-Lingga
Mushaf Kerajaan Riau-Lingga dengan iluminasi gaya Pantai Timur Semenanjung koleksi Museum Linggam Cahaya Daik-Lingga.
F-DOK/ASWANDI SYAHRI
Aswandi Syahri
ALQURAN adalah ‘penghulu’ dari segala kitab. Oleh karena itu, selain menyimpan sejumlah manuskrip kitab sejarah, sastra, hukum, dan lain sebagainya, istana Riau-Lingga di Pulau Penyengat dan Daik-Lingga juga mempunyai beberapa buah mushaf atau naskah Alquran tulisan tangan yang indah dan penting.
Sejauh ini, seperti terungkap dalam hasil penelitian Khazanah Manuskrip Alquran di Kepulauan Riau (2012) oleh Ali Akbar dari Bayt Alquran-Jakarta, telah dapat dikenal pasti sembilan buah mushaf yang berasal dari zaman kerajaan Riau-Lingga. Tersebar di dua pusat pemerintah kerajaan di Pulau Penyengat dan Daik-Lingga.
Dua diantaranya kini berada dalam simpanan Museum Linggam Cahaya, Daik-Lingga, dan isanya menjadi koleksi Masjid Pulau Penyengat.
Lazimnya, mushaf adalah sebuah kitab Alquran yang istimewa. Ditulis dengan khat yang indah dan diberi hiasan (iluminasi) mewah, beperada air emas pada beberapa halaman dan bagian-bagian tertentu.
Dua buah mushaf yang kini berada dalam simpanan Museum Linggam Cahaya dan enam mushaf lainnya yang berada di Pulau Penyengat memperlihatkan kenyataan itu: berhiaskan iluminasi yang indah dan mewah. Sehingga benar-benar mengukuhkan kitab yang berisi kalam ilahi itu sebagai ‘penghulu’ dari segala kitab yang ada di muka bumi Allah ini.
Oleh karena itu, sebuah mushaf tak hanya berisikan teks ilahiah semata. Pada lembar-lembar halamannya juga terekam jejak-jejak seni, sejarah, dan kebudayaan yang dibawa oleh sang penyalin mushaf melalui goresan kalamnya.
Dengan bantuan ilmu sejarah dan kajian filologi yang mendalam terhadap sebuah mushaf, akan tersibak sisi-sisi sejarah dan kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan masyarakat dan negeri tempat mushaf tersebut berada.
Dalam kempatan ini akan diperkenal dua mushaf yang berasal dari zaman kerajaan Riau-Lingga, yang kini berada dalam simpanan Masjid Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang.
Salinan Abdulrahman Stambul
Mushaf pertama berukuran 40 x 25 cm. Ditulis di atas ketas Eropa dengan ketebalan 7 cm. Alquran bersejarah ini sangat terkenal dan dikenal luas, karena satu-satunya mushaf dari beberapa buah mushaf milik Masjid Pulau Penyengat yang dipajang sebagai ‘perhiasan’ masjid.
Alquran indah ini diletakkan di atas sebuah rehal antik berukir yang diselubungi vitrin kaca berlapis ultraviolet filter, tepat di bawah lampu Kraun hadiah Maharaja Prusia. Entah berapa ribu jamaah dan pengunjung Masjid Pulau Penyengat yang telah melihat dua halaman mushaf indah ini yang terbuka sepanjang tahun.
Sebuah caption tentang tentang mushaf ini menyebutkan ianya telah selesai disalin pada tahun 1867. Penyalinnya adalah seorang penduduk Pulau Penyengat bernama Abdulrahman. Beliau terkenal mahir dalam menulis khat yang indah, dan pernah dikirim oleh kerajaan Riau-Lingga ke Mesir untuk memperdalam ilmu agama.
Sekembalinya dari Mesir, Abdulrahman menjadi guru di Pulau Penyengat, dan semakin terkenal dengan seni khat indahnya yang kemudian disebut ‘khat gaya Istambul’. Karena itu pula, nama Istambul (Turki) melekat dibelakang nama batang tubuhnya: Abdulrahman Stambul.
Kepiawaian Abdulrahman dalam seni khat dan kedalaman pengusaan ilmu agamanya, membuat mushaf ini istimewa. Ia banyak menggunakan huruf “Ya” busra dan beberapa rumah huruf yang titiknya sengaja disamarkan. Sehingga, ketika membacanya seseorang cenderung menggunakan interprestasi individu sesuai dengan kadar ilmu yang dikuasainya.
Goresan kalam Abdulrahman Stambul ini adalah sebuah mushaf yang indah. Berhiaskan iluminasi perada air emas, yang menurut hasil kajian Dr Annabel Teh Gallop dari British Library London, dikenal sebagai iluminasi gaya “Pantai Timur” Semenanjung.
Jejak Abdulrahman Stambul tak hanya terdapat pada salah satu mushaf indah koleksi Masjid Pulau Penyengat, tapi juga menghiasi kemegahan interior salah satu istana Sultan di Negeri Terengganu, Malaysia.
Disalin Bandar Kedah Negeri Padang Saujana
Mushaf kedua usianya jauh lebih tua, dan dihiasi dengan iluminasi yang dikenal oleh kalangan filolog sebagai gaya “Bugis” atau gaya “Sulawesi Selatan”. Mushaf yang kondisinya agak rusak karena bahan tinta yang mengandungi besi (iron gall) ini, disimpan pada salah satu almari peninggalan Kutubkhanah Marhum Ahmadi di Masjid Pulau Penyengat.
Pembacaan ulang terhadap kolofon (penjelasan oleh penyalin mushaf) yang terdapat di halaman akhir mushaf ini oleh Dr. Annabel The Gallop dari Biritis Library dan Ali Akbar dari Bayt Alquran Jakarta, telah mengoreksi banyak hal atas hasil pembacaan sebelumnya.
Mushaf ini disalin di Bandar Kedah, Negeri Padang Sirjana (Sejana atau Saujana?) pada 25 Ramadhan 1166 Hijriah bersamaan dengan 26 Juli 1753 Miladiah. Jadi, bukan disalin di Negeri Padang Saujan, Riau, seperti hasil pembacaan sebelumnya. Penyalinnya adalah Ali bin Abdullah bin Abdulrahman al-Jawi al-Buqisi yang berasal daerah bernama Tempe di Negeri Wajo, Sulawesi.
Angka tahun pada kolofon ini menunjukkan masa-masa pemerintahan Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II yang memerintah antara tahun 1746-1777 Miladiah. Seperti dicatat Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, Kedah punya hubungan politik dan kerap melibatkan Upu-Upu Bugis di Riau dalam urusan politik mereka sejak masa pemerintah Daeng Marewah Yang Dipertuan I (1722-1729).
Apa rahasia disebalik nama Bandar Kedah di Tanah Semenanjung yang dicantumkan dalam kolofon sebagai nama tempat mushaf itu disalin?
Ali Akbar dari Bayt Alquran Jakarta, mengaitkannya mushaf ini dengan peristiwa penyerangan Raja Haji Engku Kelana Pangeran Sutawijaya ke Kedah. Seperti dicatat Raja Ali Haji Haji dalam Tuhfat al-Nafis, datuknya, Raja Haji Fisabilillah pernah menyerang Negeri Kedah ketika ia masih menjabat Kelana Calon Yang Dipertuan Muda pada akhir tahun 1770 atau awal 1771 Miladiah.
Peperangan itu berakhir dengan perdamaian setelah melalui mediasi oleh Raja Lumu Sultan Salehuddin Selangor. Bukan tidak mungkin mushaf tersebut adalah bagian peperangan yang berakhir dengan perdamaian yang intinya menurut Raja Ali Haji adalah “pekerjaan mufakat sama-sama Islam.”
Hasil pembacaan paling mutakhir terhadap kolofon mushaf ini adalah sebagai berikut:
Wa kana al-faragh min tahsili haza al-mushaf al-karim nahara al-Jum’at min Ramadhan fi waqti al-‘asri madat khamsa wa ‘isyruna yauman min syahri Ramadhan al-mubarak fi Bandar Kedah qaryah Padang Sirjana fi zamani Maulana Paduka Sri as-Sultan al-A’zam wa al-Khaqan wa al-A’dal al-Afkham Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam Syah sanat 1166 alf wa mi’at wa sitt wa sittun min al-hijrat an-nabawiyyah ‘ala sahibiha afdal as-salati wa azka at-taslim bi-khatt al-faqir al-khaqir ad-da’if al-mu’tarif bi az-zanbi wa at-taqsir ar-raji ila ‘afwi rabbihi al-karim Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi asy-Syafi’i mazhaban at-Tempe baladan wa maulidan wa watanan wa an-Naqsyabandi … … lillahi Maulana as-Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum upu ghafara Allahu lahum wa li-walidaihim wa li-jami’il-muslimin wal-muslimat wal-mu’minin [wa al-mu’minin] wal-mu’minat al-ahya’i minhum wal-amwat.
Oleh Ali Akbar, isi kolofon dwi-bahasa (Arab dan Melayu) ini diterjemakan sebagai berikut: “Selesai menyalin mushaf yang mulia ini siang Jumat, Ramadhan pada waktu asar, 25 bulan Ramadhan yang penuh berkah di Bandar Kedah Negeri Padang Sirjana pada zaman Maulana Paduka Sri Sultan Yang Agung, Pemimpin Yang Adil Yang Besar Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam Syah tahun 1166 seribu seratus enam puluh enam Hijrah Nabi pemilik salawat yang utama dan salam yang suci, dengan tulisan yang fakir yang hina yang lemah yang mengakui dosanya dan kekurangannya yang mengharapkan ampunan Tuhannya Yang Mulia, Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi, Syafi’i mazhabnya, Tempe daerahnya dan kelahirannya serta negerinya, Naqsyabandi … … Maulana Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum upu. semoga Allah mengampuni mereka dan orang tua mereka serta semua kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mu’minat yang masih hidup dan yang telah wafat.”
‘Silsilah’ mushaf kedua ini unik dan menarik. Terutama bila dilihat dari gaya tulisan, kehalusan iluminasi, dan gaya iluminasi-nya yang khas “Bugis” atau “Sulawesi Selatan.”
Hasil penelusuran Ali Akbar dari Baty Alquran Jakarta berhasil mengungkap sesuatu yang penting. Mushaf ini diyakini masih ‘satu keluarga dekat’ dengan empat mushaf lain, yang berada di tempat lain, yaitu: (1) Mushaf koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta nomor A.49, dengan tarikh Sya’ban 1143 Hijriah bersamaan dengan Februari/Maret 1731 Miladiah; (2) sebuah mushaf Nusantara koleksi The Aga Khan Trust di Jenewa, Swiss, bertarikh 25 Ramadan 1219 Hijriah bersamaan dengan 28 Desember 1804 Miladiah; (3) Mushaf Sultan Ternate, bertarikh 9 Zulhijah 1185 Hijriah bersamaan dengan 14 Maret 1772 Miladiah; dan (4) satu sebuah mushaf koleksi Museum Babullah, istana Kesultanan Ternate, tanpa kolofon. ***
Mushaf Kerajaan Riau-Lingga dengan iluminasi gaya Pantai Timur Semenanjung koleksi Museum Linggam Cahaya Daik-Lingga.
F-DOK/ASWANDI SYAHRI
Aswandi Syahri
ALQURAN adalah ‘penghulu’ dari segala kitab. Oleh karena itu, selain menyimpan sejumlah manuskrip kitab sejarah, sastra, hukum, dan lain sebagainya, istana Riau-Lingga di Pulau Penyengat dan Daik-Lingga juga mempunyai beberapa buah mushaf atau naskah Alquran tulisan tangan yang indah dan penting.
Sejauh ini, seperti terungkap dalam hasil penelitian Khazanah Manuskrip Alquran di Kepulauan Riau (2012) oleh Ali Akbar dari Bayt Alquran-Jakarta, telah dapat dikenal pasti sembilan buah mushaf yang berasal dari zaman kerajaan Riau-Lingga. Tersebar di dua pusat pemerintah kerajaan di Pulau Penyengat dan Daik-Lingga.
Dua diantaranya kini berada dalam simpanan Museum Linggam Cahaya, Daik-Lingga, dan isanya menjadi koleksi Masjid Pulau Penyengat.
Lazimnya, mushaf adalah sebuah kitab Alquran yang istimewa. Ditulis dengan khat yang indah dan diberi hiasan (iluminasi) mewah, beperada air emas pada beberapa halaman dan bagian-bagian tertentu.
Dua buah mushaf yang kini berada dalam simpanan Museum Linggam Cahaya dan enam mushaf lainnya yang berada di Pulau Penyengat memperlihatkan kenyataan itu: berhiaskan iluminasi yang indah dan mewah. Sehingga benar-benar mengukuhkan kitab yang berisi kalam ilahi itu sebagai ‘penghulu’ dari segala kitab yang ada di muka bumi Allah ini.
Oleh karena itu, sebuah mushaf tak hanya berisikan teks ilahiah semata. Pada lembar-lembar halamannya juga terekam jejak-jejak seni, sejarah, dan kebudayaan yang dibawa oleh sang penyalin mushaf melalui goresan kalamnya.
Dengan bantuan ilmu sejarah dan kajian filologi yang mendalam terhadap sebuah mushaf, akan tersibak sisi-sisi sejarah dan kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan masyarakat dan negeri tempat mushaf tersebut berada.
Dalam kempatan ini akan diperkenal dua mushaf yang berasal dari zaman kerajaan Riau-Lingga, yang kini berada dalam simpanan Masjid Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang.
Salinan Abdulrahman Stambul
Mushaf pertama berukuran 40 x 25 cm. Ditulis di atas ketas Eropa dengan ketebalan 7 cm. Alquran bersejarah ini sangat terkenal dan dikenal luas, karena satu-satunya mushaf dari beberapa buah mushaf milik Masjid Pulau Penyengat yang dipajang sebagai ‘perhiasan’ masjid.
Alquran indah ini diletakkan di atas sebuah rehal antik berukir yang diselubungi vitrin kaca berlapis ultraviolet filter, tepat di bawah lampu Kraun hadiah Maharaja Prusia. Entah berapa ribu jamaah dan pengunjung Masjid Pulau Penyengat yang telah melihat dua halaman mushaf indah ini yang terbuka sepanjang tahun.
Sebuah caption tentang tentang mushaf ini menyebutkan ianya telah selesai disalin pada tahun 1867. Penyalinnya adalah seorang penduduk Pulau Penyengat bernama Abdulrahman. Beliau terkenal mahir dalam menulis khat yang indah, dan pernah dikirim oleh kerajaan Riau-Lingga ke Mesir untuk memperdalam ilmu agama.
Sekembalinya dari Mesir, Abdulrahman menjadi guru di Pulau Penyengat, dan semakin terkenal dengan seni khat indahnya yang kemudian disebut ‘khat gaya Istambul’. Karena itu pula, nama Istambul (Turki) melekat dibelakang nama batang tubuhnya: Abdulrahman Stambul.
Kepiawaian Abdulrahman dalam seni khat dan kedalaman pengusaan ilmu agamanya, membuat mushaf ini istimewa. Ia banyak menggunakan huruf “Ya” busra dan beberapa rumah huruf yang titiknya sengaja disamarkan. Sehingga, ketika membacanya seseorang cenderung menggunakan interprestasi individu sesuai dengan kadar ilmu yang dikuasainya.
Goresan kalam Abdulrahman Stambul ini adalah sebuah mushaf yang indah. Berhiaskan iluminasi perada air emas, yang menurut hasil kajian Dr Annabel Teh Gallop dari British Library London, dikenal sebagai iluminasi gaya “Pantai Timur” Semenanjung.
Jejak Abdulrahman Stambul tak hanya terdapat pada salah satu mushaf indah koleksi Masjid Pulau Penyengat, tapi juga menghiasi kemegahan interior salah satu istana Sultan di Negeri Terengganu, Malaysia.
Disalin Bandar Kedah Negeri Padang Saujana
Mushaf kedua usianya jauh lebih tua, dan dihiasi dengan iluminasi yang dikenal oleh kalangan filolog sebagai gaya “Bugis” atau gaya “Sulawesi Selatan”. Mushaf yang kondisinya agak rusak karena bahan tinta yang mengandungi besi (iron gall) ini, disimpan pada salah satu almari peninggalan Kutubkhanah Marhum Ahmadi di Masjid Pulau Penyengat.
Pembacaan ulang terhadap kolofon (penjelasan oleh penyalin mushaf) yang terdapat di halaman akhir mushaf ini oleh Dr. Annabel The Gallop dari Biritis Library dan Ali Akbar dari Bayt Alquran Jakarta, telah mengoreksi banyak hal atas hasil pembacaan sebelumnya.
Mushaf ini disalin di Bandar Kedah, Negeri Padang Sirjana (Sejana atau Saujana?) pada 25 Ramadhan 1166 Hijriah bersamaan dengan 26 Juli 1753 Miladiah. Jadi, bukan disalin di Negeri Padang Saujan, Riau, seperti hasil pembacaan sebelumnya. Penyalinnya adalah Ali bin Abdullah bin Abdulrahman al-Jawi al-Buqisi yang berasal daerah bernama Tempe di Negeri Wajo, Sulawesi.
Angka tahun pada kolofon ini menunjukkan masa-masa pemerintahan Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II yang memerintah antara tahun 1746-1777 Miladiah. Seperti dicatat Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, Kedah punya hubungan politik dan kerap melibatkan Upu-Upu Bugis di Riau dalam urusan politik mereka sejak masa pemerintah Daeng Marewah Yang Dipertuan I (1722-1729).
Apa rahasia disebalik nama Bandar Kedah di Tanah Semenanjung yang dicantumkan dalam kolofon sebagai nama tempat mushaf itu disalin?
Ali Akbar dari Bayt Alquran Jakarta, mengaitkannya mushaf ini dengan peristiwa penyerangan Raja Haji Engku Kelana Pangeran Sutawijaya ke Kedah. Seperti dicatat Raja Ali Haji Haji dalam Tuhfat al-Nafis, datuknya, Raja Haji Fisabilillah pernah menyerang Negeri Kedah ketika ia masih menjabat Kelana Calon Yang Dipertuan Muda pada akhir tahun 1770 atau awal 1771 Miladiah.
Peperangan itu berakhir dengan perdamaian setelah melalui mediasi oleh Raja Lumu Sultan Salehuddin Selangor. Bukan tidak mungkin mushaf tersebut adalah bagian peperangan yang berakhir dengan perdamaian yang intinya menurut Raja Ali Haji adalah “pekerjaan mufakat sama-sama Islam.”
Hasil pembacaan paling mutakhir terhadap kolofon mushaf ini adalah sebagai berikut:
Wa kana al-faragh min tahsili haza al-mushaf al-karim nahara al-Jum’at min Ramadhan fi waqti al-‘asri madat khamsa wa ‘isyruna yauman min syahri Ramadhan al-mubarak fi Bandar Kedah qaryah Padang Sirjana fi zamani Maulana Paduka Sri as-Sultan al-A’zam wa al-Khaqan wa al-A’dal al-Afkham Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam Syah sanat 1166 alf wa mi’at wa sitt wa sittun min al-hijrat an-nabawiyyah ‘ala sahibiha afdal as-salati wa azka at-taslim bi-khatt al-faqir al-khaqir ad-da’if al-mu’tarif bi az-zanbi wa at-taqsir ar-raji ila ‘afwi rabbihi al-karim Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi asy-Syafi’i mazhaban at-Tempe baladan wa maulidan wa watanan wa an-Naqsyabandi … … lillahi Maulana as-Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum upu ghafara Allahu lahum wa li-walidaihim wa li-jami’il-muslimin wal-muslimat wal-mu’minin [wa al-mu’minin] wal-mu’minat al-ahya’i minhum wal-amwat.
Oleh Ali Akbar, isi kolofon dwi-bahasa (Arab dan Melayu) ini diterjemakan sebagai berikut: “Selesai menyalin mushaf yang mulia ini siang Jumat, Ramadhan pada waktu asar, 25 bulan Ramadhan yang penuh berkah di Bandar Kedah Negeri Padang Sirjana pada zaman Maulana Paduka Sri Sultan Yang Agung, Pemimpin Yang Adil Yang Besar Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam Syah tahun 1166 seribu seratus enam puluh enam Hijrah Nabi pemilik salawat yang utama dan salam yang suci, dengan tulisan yang fakir yang hina yang lemah yang mengakui dosanya dan kekurangannya yang mengharapkan ampunan Tuhannya Yang Mulia, Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi, Syafi’i mazhabnya, Tempe daerahnya dan kelahirannya serta negerinya, Naqsyabandi … … Maulana Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum upu. semoga Allah mengampuni mereka dan orang tua mereka serta semua kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mu’minat yang masih hidup dan yang telah wafat.”
‘Silsilah’ mushaf kedua ini unik dan menarik. Terutama bila dilihat dari gaya tulisan, kehalusan iluminasi, dan gaya iluminasi-nya yang khas “Bugis” atau “Sulawesi Selatan.”
Hasil penelusuran Ali Akbar dari Baty Alquran Jakarta berhasil mengungkap sesuatu yang penting. Mushaf ini diyakini masih ‘satu keluarga dekat’ dengan empat mushaf lain, yang berada di tempat lain, yaitu: (1) Mushaf koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta nomor A.49, dengan tarikh Sya’ban 1143 Hijriah bersamaan dengan Februari/Maret 1731 Miladiah; (2) sebuah mushaf Nusantara koleksi The Aga Khan Trust di Jenewa, Swiss, bertarikh 25 Ramadan 1219 Hijriah bersamaan dengan 28 Desember 1804 Miladiah; (3) Mushaf Sultan Ternate, bertarikh 9 Zulhijah 1185 Hijriah bersamaan dengan 14 Maret 1772 Miladiah; dan (4) satu sebuah mushaf koleksi Museum Babullah, istana Kesultanan Ternate, tanpa kolofon. ***
0 comments:
Post a Comment