KELUARGA PAJAR, PARIMBUNIS

PERSATUAN KELUARGA BESAR KETURUNAN RAJA ALI RAJA JAAFAR (YDM RIAU VIII) DAN ENGKU CHIK TEMENGGUNG ABDUL RAHMAN

Mushaf Alquran Kerajaan Riau-Lingga

Mushaf Alquran Kerajaan Riau-Lingga

Mushaf Kerajaan Riau-Lingga dengan iluminasi gaya Pantai Timur Semenanjung koleksi Museum Linggam Cahaya Daik-Lingga.
F-DOK/ASWANDI SYAHRI
Aswandi Syahri
ALQURAN adalah ‘penghulu’ dari segala kitab. Oleh karena itu, selain menyimpan sejumlah manuskrip kitab sejarah, sastra, hukum, dan lain sebagainya, istana Riau-Lingga di Pulau Penyengat dan Daik-Lingga juga mempunyai beberapa buah mushaf atau naskah Alquran tulisan tangan yang indah dan penting.
Sejauh ini, seperti terungkap dalam hasil penelitian Khazanah Manuskrip Alquran di Kepulauan Riau (2012) oleh Ali Akbar dari Bayt Alquran-Jakarta, telah dapat dikenal pasti sembilan buah mushaf yang berasal dari zaman kerajaan Riau-Lingga. Tersebar di dua pusat pemerintah kerajaan di Pulau Penyengat dan Daik-Lingga.
Dua diantaranya kini berada dalam simpanan Museum Linggam Cahaya, Daik-Lingga, dan isanya menjadi koleksi Masjid Pulau Penyengat.
Lazimnya, mushaf adalah sebuah kitab Alquran yang istimewa. Ditulis dengan khat yang indah dan diberi hiasan (iluminasi) mewah, beperada air emas pada beberapa halaman dan bagian-bagian tertentu.
Dua buah mushaf yang kini berada dalam simpanan Museum Linggam Cahaya dan enam mushaf lainnya yang berada di Pulau Penyengat memperlihatkan kenyataan itu: berhiaskan iluminasi yang indah dan mewah. Sehingga benar-benar mengukuhkan kitab yang berisi kalam ilahi itu sebagai ‘penghulu’ dari segala kitab yang ada di muka bumi Allah ini.
Oleh karena itu, sebuah mushaf tak hanya berisikan teks ilahiah semata. Pada lembar-lembar halamannya juga terekam jejak-jejak seni, sejarah, dan kebudayaan yang dibawa oleh sang penyalin mushaf melalui goresan kalamnya.
Dengan bantuan ilmu sejarah dan kajian filologi yang mendalam terhadap sebuah mushaf, akan tersibak sisi-sisi sejarah dan kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan masyarakat dan negeri tempat mushaf tersebut berada.
Dalam kempatan ini akan diperkenal dua mushaf yang berasal dari zaman kerajaan Riau-Lingga, yang kini berada dalam simpanan Masjid Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang.
Salinan Abdulrahman Stambul
Mushaf pertama berukuran 40 x 25 cm. Ditulis di atas ketas Eropa dengan ketebalan 7 cm. Alquran bersejarah ini sangat terkenal dan dikenal luas, karena satu-satunya mushaf dari beberapa buah mushaf milik Masjid Pulau Penyengat yang dipajang sebagai ‘perhiasan’ masjid.
Alquran indah ini diletakkan di atas sebuah rehal antik berukir yang diselubungi vitrin kaca berlapis ultraviolet filter, tepat di bawah lampu Kraun hadiah Maharaja Prusia. Entah berapa ribu jamaah dan pengunjung Masjid Pulau Penyengat yang telah melihat dua halaman mushaf indah ini yang terbuka sepanjang tahun.
Sebuah caption tentang tentang mushaf ini menyebutkan ianya telah selesai disalin pada tahun 1867. Penyalinnya adalah seorang penduduk Pulau Penyengat bernama Abdulrahman. Beliau terkenal mahir dalam menulis khat yang indah, dan pernah dikirim oleh kerajaan Riau-Lingga ke Mesir untuk memperdalam ilmu agama.
Sekembalinya dari Mesir, Abdulrahman menjadi guru di Pulau Penyengat, dan semakin terkenal dengan seni khat indahnya yang kemudian disebut ‘khat gaya Istambul’. Karena itu pula, nama Istambul (Turki) melekat dibelakang nama batang tubuhnya: Abdulrahman Stambul.
Kepiawaian Abdulrahman dalam seni khat dan kedalaman pengusaan ilmu agamanya, membuat mushaf ini istimewa. Ia banyak menggunakan huruf “Ya” busra dan beberapa rumah huruf yang titiknya sengaja disamarkan. Sehingga, ketika membacanya seseorang cenderung menggunakan interprestasi individu sesuai dengan kadar ilmu yang dikuasainya.
Goresan kalam Abdulrahman Stambul ini adalah sebuah mushaf yang indah. Berhiaskan iluminasi perada air emas, yang menurut hasil kajian Dr Annabel Teh Gallop dari British Library London, dikenal sebagai iluminasi gaya “Pantai Timur” Semenanjung.
Jejak Abdulrahman Stambul tak hanya terdapat pada salah satu mushaf indah koleksi Masjid Pulau Penyengat, tapi juga menghiasi kemegahan interior salah satu istana Sultan di Negeri Terengganu, Malaysia.
Disalin Bandar Kedah Negeri Padang Saujana
Mushaf kedua usianya jauh lebih tua, dan dihiasi dengan iluminasi yang dikenal oleh kalangan filolog sebagai gaya “Bugis” atau gaya “Sulawesi Selatan”. Mushaf yang kondisinya agak rusak karena bahan tinta yang mengandungi besi (iron gall) ini, disimpan pada salah satu almari peninggalan Kutubkhanah Marhum Ahmadi di Masjid Pulau Penyengat.
Pembacaan ulang terhadap kolofon (penjelasan oleh penyalin mushaf) yang terdapat di halaman akhir mushaf ini oleh Dr. Annabel The Gallop dari Biritis Library dan Ali Akbar dari Bayt Alquran Jakarta, telah mengoreksi banyak hal atas hasil pembacaan sebelumnya.
Mushaf ini disalin di Bandar Kedah, Negeri Padang Sirjana (Sejana atau Saujana?) pada 25 Ramadhan 1166 Hijriah bersamaan dengan 26 Juli 1753 Miladiah. Jadi, bukan disalin di Negeri Padang Saujan, Riau, seperti hasil pembacaan sebelumnya. Penyalinnya adalah Ali bin Abdullah bin Abdulrahman al-Jawi al-Buqisi yang berasal daerah bernama Tempe di Negeri Wajo, Sulawesi.
Angka tahun pada kolofon ini menunjukkan masa-masa pemerintahan Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II yang memerintah antara tahun 1746-1777 Miladiah. Seperti dicatat Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, Kedah punya hubungan politik dan kerap melibatkan Upu-Upu Bugis di Riau dalam urusan politik mereka sejak masa pemerintah Daeng Marewah Yang Dipertuan I (1722-1729).
Apa rahasia disebalik nama Bandar Kedah di Tanah Semenanjung yang dicantumkan dalam kolofon sebagai nama tempat mushaf itu disalin?
Ali Akbar dari Bayt Alquran Jakarta, mengaitkannya mushaf ini dengan peristiwa penyerangan Raja Haji Engku Kelana Pangeran Sutawijaya ke Kedah. Seperti dicatat Raja Ali Haji Haji dalam Tuhfat al-Nafis, datuknya, Raja Haji Fisabilillah pernah menyerang Negeri Kedah ketika ia masih menjabat Kelana Calon Yang Dipertuan Muda pada akhir tahun 1770 atau awal 1771 Miladiah.
Peperangan itu berakhir dengan perdamaian setelah melalui mediasi oleh Raja Lumu Sultan Salehuddin Selangor. Bukan tidak mungkin mushaf tersebut adalah bagian peperangan yang berakhir dengan perdamaian yang intinya menurut Raja Ali Haji adalah “pekerjaan mufakat sama-sama Islam.”
Hasil pembacaan paling mutakhir terhadap kolofon mushaf ini adalah sebagai berikut:
Wa kana al-faragh min tahsili haza al-mushaf al-karim nahara al-Jum’at min Ramadhan fi waqti al-‘asri madat khamsa wa ‘isyruna yauman min syahri Ramadhan al-mubarak fi Bandar Kedah qaryah Padang Sirjana fi zamani Maulana Paduka Sri as-Sultan al-A’zam wa al-Khaqan wa al-A’dal al-Afkham Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam Syah sanat 1166 alf wa mi’at wa sitt wa sittun min al-hijrat an-nabawiyyah ‘ala sahibiha afdal as-salati wa azka at-taslim bi-khatt al-faqir al-khaqir ad-da’if al-mu’tarif bi az-zanbi wa at-taqsir ar-raji ila ‘afwi rabbihi al-karim Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi asy-Syafi’i mazhaban at-Tempe baladan wa maulidan wa watanan wa an-Naqsyabandi … … lillahi Maulana as-Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum upu ghafara Allahu lahum wa li-walidaihim wa li-jami’il-muslimin wal-muslimat wal-mu’minin [wa al-mu’minin] wal-mu’minat al-ahya’i minhum wal-amwat.
Oleh Ali Akbar, isi kolofon dwi-bahasa (Arab dan Melayu) ini diterjemakan sebagai berikut: “Selesai menyalin mushaf yang mulia ini siang Jumat, Ramadhan pada waktu asar, 25 bulan Ramadhan yang penuh berkah di Bandar Kedah Negeri Padang Sirjana pada zaman Maulana Paduka Sri Sultan Yang Agung, Pemimpin Yang Adil Yang Besar Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam Syah tahun 1166 seribu seratus enam puluh enam Hijrah Nabi pemilik salawat yang utama dan salam yang suci, dengan tulisan yang fakir yang hina yang lemah yang mengakui dosanya dan kekurangannya yang mengharapkan ampunan Tuhannya Yang Mulia, Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi, Syafi’i mazhabnya, Tempe daerahnya dan kelahirannya serta negerinya, Naqsyabandi … … Maulana Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum upu. semoga Allah mengampuni mereka dan orang tua mereka serta semua kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mu’minat yang masih hidup dan yang telah wafat.”
‘Silsilah’ mushaf kedua ini unik dan menarik. Terutama bila dilihat dari gaya tulisan, kehalusan iluminasi, dan gaya iluminasi-nya yang khas “Bugis” atau “Sulawesi Selatan.”
Hasil penelusuran Ali Akbar dari Baty Alquran Jakarta berhasil mengungkap sesuatu yang penting. Mushaf ini diyakini masih ‘satu keluarga dekat’ dengan empat mushaf lain, yang berada di tempat lain, yaitu: (1) Mushaf koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta nomor A.49, dengan tarikh Sya’ban 1143 Hijriah bersamaan dengan Februari/Maret 1731 Miladiah; (2) sebuah mushaf Nusantara koleksi The Aga Khan Trust di Jenewa, Swiss, bertarikh 25 Ramadan 1219 Hijriah bersamaan dengan 28 Desember 1804 Miladiah; (3) Mushaf Sultan Ternate, bertarikh 9 Zulhijah 1185 Hijriah bersamaan dengan 14 Maret 1772 Miladiah; dan (4) satu sebuah mushaf koleksi Museum Babullah, istana Kesultanan Ternate, tanpa kolofon. ***
Like · ·

RAJA AHMAD RIAU

Hanya berbagi informasi..

RAJA AHMAD RIAU
Pengasas ‘al-Ahmadiah’ di Singapura
Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

DIRI dan jiwa mengembara dari tempat yang kecil dan terpencil ke Singapura, Johor dan Mekah akhirnya membuka usaha kemuncaknya di Singapura.
Itulah insan keturunan kaum bangsawan Riau bernama Raja Haji Ahmad bin Raja Haji Umar Tengku Endut yang diperkenalkan artikel ini. Dari tempat yang kecil sebuah pulau, iaitu Pulau Penyengat Indera Sakti, bekas pusat Kerajaan Riau-Lingga, Johor dan Pahang di sanalah Raja Ahmad dilahirkan. Dan terpencil, nun jauh di sana Pulau Midai di Laut Cina Selatan.
Ayahnya Raja Haji Umar Tengku Endut itu dalam beberapa halaman Tuhfah an-Nafis ada disebut oleh saudaranya Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad Riau pujangga Melayu yang sangat terkenal itu, namun yang saya rakamkan di sini banyak perkara yang tidak sempat ditulis oleh Raja Ali Haji.
Walau bagaimanapun tulisan ini adalah sumber yang sahih kerana banyak hal saya dengar sendiri daripada Raja Haji Ahmad dalam tahun 1950-an hingga 1960-an, termasuk juga sumber-sumber yang lain dari kerabat keluarga ini. Raja Haji Umar Tengku Endut adalah orang pertama dilantik oleh Sultan Riau menjadi Amir (Ketua Pemerintahan wakil raja) di seluruh Tokong Pulau Tujuh yang sekarang dikenali beberapa kelompok kepulauan yang terkenal.
Yang paling terkenal sekarang ialah Kepulauan Natuna. Dia terkenal kerana diketemukan minyak dan gas. Sekarang dibentuk sebuah kabupaten dinamakan Kabupaten Natuna, pusat pemerintahannya Ranai. Setelah Natuna mulai terkenal nama-nama yang dahulu terkenal seumpama Kepulauan Siantan, Kepulauan Jemaja, dan lain-lain kurang dipercakapkan orang. Kepulauan Serasan pula terletak yang paling Sararak (di bahagian utara).
Susur galur Raja Haji Ahmad dari pihak sebelah ayahnya tidak perlu saya bicarakan di sini kerana telah saya tulis sebelum ini dan mudah mendapatkannya dalam susur galur kaum raja-raja Riau-Lingga atau pun Johor atau pun Selangor. Dari pihak sebelah ibunya pula memang tidak dibiasakan orang kecuali salasilah yang ditulis oleh abang saya Muhammad Zain Abdullah. Dalam tahun 1950-an beliau bersama saya mendengar daripada Haji Wan Abu Bakar saudara sepupu Raja Haji Ahmad daripada pihak sebelah ibu.
Bahawa ibu Raja Haji Ahmad bernama Hajah Nik Wan Siti binti Nik Wan Muhammad Nara, berasal dari Natuna. Asal usul selanjutnya dari Patani dan Kelantan. Datang ke Natuna terlebih dulu dan Batu Bahara di Sumatera. Ibu Hajah Nik Wan Siti bernama Wan Qamariyah binti Encik Wan Mat Thalib, berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam salasilah yang saya peroleh di Pontianak menyebut Wan Qamariyah binti Encik Wan Mat Thalib bin Encik Wan Jaramat/Orang Kaya Setia Maharaja Lela Pahlawan Tambelan bin Encik Wan Umar/Megat Laksamana bin Encik Wan Utsman/Orang Kaya Megat Patan di Pahang bin Encik Wan Ahmad/Tuan Qadhi Menteri Danageraha Habung. Encik Wan Ahmad/Tuan Qadhi Menteri Danageraha Habung inilah ulama yang bersama Sultan Melaka yang hijrah ke Batu Sawar, Johor, selanjutnya ke Bintan, selanjutnya ke Minangkabau, selanjutnya ke Kampar.
Beberapa orang keturunannya berpatah balik ke Johor, Pahang dan lainnya, ramai yang menjadi pembesar. Keturunan beliau juga menjadi pembesar-pembesar dalam beberapa kerajaan Melayu, termasuk Pontianak dan Cam yang menyatu dengan keturunan yang berasal dari Patani.
Hendaklah dikenalpasti bahawa dalam sejarah Riau terdapat dua orang tokoh yang bernama Raja Ahmad. Seorang adalah anak Raja Haji asy-Syahidu fi Sabillilah, dan seorang lagi ialah cicitnya. Cicit Raja Haji adalah Raja Haji Ahmad yang pertama. Peranan kedua-dua tokoh itu sama penting, namun Raja Haji Ahmad bin Raja Haji Umar Tengku Endut tidak dibicarakan dalam Tuhfat an-Nafis, salasilah Melayu dan Bugis dan sejarah-sejarah Riau lainnya.
Hal tersebut disebabkan sewaktu Raja Ali Haji (saudara kandung Tengku Endut) mengarang pelbagai karyanya, Raja Haji Ahmad bin Tengku Endut masih kecil.
Raja Haji Ahmad yang pertama digelar orang Engku Haji Tua. Daripada khazanah peninggalan keturunan beliau ada dicatatkan bahawa Raja Haji Ahmad ketika mudanya amat gemar memancing ikan di laut. “Pada suatu masa Raja Haji Ahmad sedang memancing di laut ... (tak dapat dibaca) berdekatan dengan sebuah pulau, di depan muka selat Tiong, maka datanglah sebuah kapal kepunyaan orang barat. Tiba-tiba dilanggarnya sampan Raja Ahmad sampai karam. Sebaliknya pada waktu itu Raja Ahmad dapat berpegang pada kapal orang barat itu, lalu naik ke atas kapal tersebut. Lalu dihamuknya segala orang dalam kapal itu sehingga habis.”
Setelah orang-orang kapal itu mati maka Raja Ahmad susah pula bagaimana akan membawa kapal itu masuk ke Tanjung Pinang sedangkan kapal itu sangat besar, tentu tidak dapat dikayuhkan. Sedangkan dia hanya seorang diri. Pada waktu itu terbit fikirannya, “Baik aku tunda saja kapal ini dengan sampanku supaya dapat aku bawa masuk ke Tanjung Pinang.” Maka Raja Ahmad turun ke sampannya. Lalu dikayuhnya masuk ke selat Tiong sampai ke Pulau Bayan ... " Selanjutnya diceritakan dari kisah di atas tergubahlah seuntai pantun:
Anak ulat di buku kayu,
Anak Belanda main teropong,
Besar daulat Raja Melayu,
Kapal ditunda dengan jongkong.
Pencetus usaha
Raja Haji Ahmad Muda adalah cucu Raja Haji Ahmad Engku Tua setelah memperhatikan banyak kegoncangan dalam pemerintahan Riau-Lingga, telah menghadap Sultan Abdur Rahman Mu'azzam Syah. Kata beliau kepada sultan, “Pada pandangan patik di belakang hari kaum kita akan disingkirkan Belanda. Kita akan papa kedana.
Akibat papa kedana kaum kita Melayu boleh menukar agama daripada Islam kepada agama Serani. (Maksudnya Nasrani atau Kristian). Patik mohon keizinan Paduka untuk membangun satu syarikat perniagaan.” Titah baginda Sultan Abdur Rahman, “Bagaimana yang elok menurut engkau perbuatlah ! Aku sangat-sangatlah bersetuju.” (Ucapan Raja Haji Ahmad tahun 1961 di rumahnya Istana Laut, Pulau Penyengat).
Setelah mendapat persetujuan daripada Sultan Abdur Rahman Mu'azzam Syah, maka Raja Haji Ahmad memanggil kaum intelektual kerajaan Riau bermusyawarat. Di antaranya ialah Raja Ali bin Raja Muhammad Tengku Nong, Raja Haji Idris bin Tengku Endut, Raja Haji Ja'afar bin Tengku Endut dan Raja Haji Muhammad bin Raja Ali. Dari situ mereka bersepakat untuk mendirikan sebuah perniagaan untuk mempertinggikan imej orang Melayu Islam terutama kerabat mereka. Sebagai langkah awal mereka membuka tanah perkebunan.
Oleh sebab tanah-tanah di sekitar Pulau Bintan kurang subur untuk perkebunan, selain tanah-tanah itu telah dikuasai oleh tauke-tauke bangsa Cina, Raja Haji Ahmad terpaksa mengarahkan tumpuan ke pulau-pulau yang masih kosong. Pulau-pulau tersebut ialah di kawasan Tukong Pulau Tujuh. Dengan sebuah perahu layar dia menuju ke Pulau Midai kerana di sana telah ada wakil sultan sejak tahun 1302 H/1883 M. Kebetulan pula wakil itu adalah saudara kandungnya, iaitu Raja Haji Ilyas bin Tengku Endut.
Dari Pulau Midai yang kecil terpencil di Laut Cina Selatan itu bermulalah segala kegiatan Syarkah Ahmadi Midai. Dari situ sebuah cawangan dibuka di Singapura, iaitu Mathba'ah Al-Ahmadiah atau Al-Ahmadiah Press 101 Jalan Sultan Singapura 7. Sejarah berdirinya Syarkah Ahmadi & Co. Midai dan cawangan Al-Ahmadiah Singapura secara jelas diceritakan oleh Raja Haji Ahmad dalam suratnya yang bertarikh 17 Ramadan 1373 H kepada Haji Wan Abdullah bin Haji Wan Abdur Rahman saudara sepupunya.
Beberapa perkara yang penting di antaranya saya petik, "Dan tentang pertanyaan adinda permulaan mendirikan Ahmadiah Midai ialah kekanda tarikhkan mendirikan rumah di laut Sabang Barat di hadapan rumah tauke Aniu. Lihatlah di dalam jurnal kekanda di Ahmadi dan Surat Kebenaran dari Yang Dipertuan Besar Riau masih ada kekanda simpan tinggal di Penyengat ... Maka pada masa itu berjalanlah perniagaan Ahmadi hingga kekanda dipanggil oleh Yang Dipertuan Besar Riau kerana muafakat hendak membeli kapal yang bernama Kapal Karang ... "
Setelah Kapal Karang dibeli maka terjadilah perkongsian antara Syarikat Ahmadi dengan Syarikat Batu Batam yang dipunyai oleh Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi. Syarikat Batu Batam ini diuruskan oleh anaknya, Raja Ali Kelana. Syarikat ini tidak dapat bertahan lama kerana dikhianati oleh beberapa peniaga Cina di Singapura. Walau bagaimanapun dengan kebijaksanaan Raja Haji Ahmad dan anak saudaranya, Raja Ali bin Raja Haji Muhammad Tengku Nong (cucu Marhum Mursyid), Ahmadi & Co. Midai tidak dapat dipermainkan oleh peniaga-peniaga Cina di Singapura.
Raja Haji Ahmad memang diakui seorang tokoh Riau yang sangat teliti dalam bidang pentadbiran. Dalam salah satu buku yang tersimpan di Ahmadi & Co. Midai telah ditemui tulisan ini. “Pada 10 Syaaban 1324 H bersamaan 17 September 1906 M dimulai membuka kedai di Pulau Midai, Sabang Barat”.
Sewaktu Raja Haji Ahmad berada di Mekah hubungan komunikasi surat-menyurat antara beliau dengan Raja Ali bin Raja Muhammad Tengku Nong tidak pernah terputus. Dalam surat Raja Ali yang bertarikh 28 Rejab 1332 nombor 19 dan 92 kepada Raja Haji Ahmad di Mekah ada dinyatakan bahawa syarikat Ahmadi akan mengembangkan perniagaannya. Raja Haji Ahmad bersetuju. “Syahdan adapun muafakat Paduka anakanda hendak membesarkan perniagaan Ahmadiah, dihamburkan modalnya di Pulau Tujuh hingga ke Singapura, maka pekerjaan itulah seelok-elok pekerjaan menurut peraturan orang-orang Eropah membesarkan pekerjaan dengan muafakat. Maka sangatlah ayahanda perkenan akan muafakat itu ...”
Setelah Raja Ali mendapat persetujuan Raja Haji Ahmad, dengan Akta Midai, 1 Syaaban 1333 H bersamaan 14 Jun 1915 M maka rasmilah pembukaan cawangan Ahmadiah Pulau Tujuh-Singapura yang berpejabat di Palembang Road No. 18B, Singapura. Cawangan itu kemudiannya berpindah ke Minto Road No. 50.
Cawangan ini berfungsi menguruskan hasil bumi dan hasil laut yang datang dari Pulau Tujuh, Sumatera dan Malaya. Dengan memakai tanda Syarikat Ahmadi & Co. Midai cawangan Singapura, syarikat tersebut melakukan kegiatan eksport hasil bumi dan hasil laut ke benua Eropah. Selain itu syarikat itu juga mengimport barangan dari Eropah, India dan Cina ke Singapura.
Pendek kata, Ahmadiah cawangan Singapura adalah sebagai lambang kemampuan bangsa Melayu dalam bidang perdagangan pada zaman itu. Pada hari Jumaat 20 Rabiulawal 1339 H bersamaan 3 Disember 1920 M muafakat pula mendirikan percetakan terkenal dengan nama Mathba’ah Al-Ahmadiah atau Al-Ahmadiah Press 101 Jalan Sultan Singapura.
Sejarah menuntut ilmu* Raja Haji Ahmad menyerahkan pimpinan Syarkah Ahmadi & Co. Midai kepada Raja Ali (cucu Marhum Mursyid) pada 1914 untuk mendalami pelbagai bidang ilmu.
* Di Mekah - berguru dengan Syeikh Muhammad bin Ismail al-Fathani dan Syeikh Daud bin Mushthafa al-Fathani (ilmu keislaman)
* Beliau belajar ilmu al-Quran daripada Syeikh Abdullah bin Qasim Senggora.
* Pernah mengembara ke beberapa negeri di Asia Barat serta mengunjungi Calcutta dan Bombay di India.
* Beliau juga adalah pengasas syarikat Ahmadi & Co. Midai pada 10 Syaaban 1324 H bersamaan 17 September 1906 di Pulau Midai, Sabang Barat.

Sejarah Pulau Penyengat.


Di Copy Dari Blog Pulau Penyengat ( Kampong Halaman ) Tulisan yg berhubungan dengan Pulau Penyengat..
Selamat Membaca... Semoga Bermanfaat..

Sejarah Pulau Penyengat..

SUATU hal yang tercatat dalam sejarah adalah bahwa mesjid ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang utuh. Harap diingat, Penyengat pada akhirnya tidak saja sebagai tempat berkedudukannya seorang Yang Dipertuan Muda atau semacam Perdana Menteri Kerajaan Melayu Riau-Lingga, tetapi juga tempat kedudukan Sultan sejak tahun 1900 dengan segala macam pembangunan fisiknya; sebutlah di antaranya berbagai macam istana, mahkamah, rumah sakit, listrik, dan jaringan telepon yang tersedia sebelum abad ke-20.

Alkisah, nama pulau Penyengat muncul dalam sejarah Melayu pada awal abad ke-18 ketika meletusnya perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang kemudian melahirkan Kerajaan Siak di daratan Sumatera (masih di Riau). Pulau ini menjadi penting lagi ketika berkobarnya perang Riau (akhir abad ke-18) pimpinan Raja Haji Fisabilillah yang pada tahun 1997 diangkat sebagai pahlawan nasional. Raja Haji menjadikan pulau ini sebagai kubu penting yang dijaga oleh orang-orang asal Siantan, dari kawasan Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan.
Cerita rakyat menyebutkan, nama pulau tersebut diambil dari nama binatang yakni penyengat (sebangsa lebah), semula dikenal sebagai tempat orang mengambil air dalam pelayaran di kawasan ini. Konon, suatu kali para saudagar yang mengambil air di situ diserang binatang tersebut. Pihak Belanda sendiri menjuluki pulau itu dengan dua nama yakni Pulau Indera dan Pulau Mars. Kini pulau itu lebih dikenal dengan nama Penyengat Inderasakti.
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah, sehingga pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Perhatian itu semakin mantap dinikmati Penyengat, ketika beberapa tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga.
Dengan pengalamannya sebagai pengusaha timah di Semenanjung Malaya dan selalu berpergian ke berbagai tempat sebelum diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda, Raja Jaafar membangun Penyengat dengan cita-rasa pemukiman yang molek. Sejumlah pengamat asing menyebutkan, Penyengat ditata sebaik-baiknya tempat yang terlihat dari penyusunan pemukiman, keberadaan tembok-tembok, saluran air, dan jalan-jalan. Pada gilirannya, Sultan Abdurrahman Muazamsyah, tahun 1900 memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke Penyengat.
Setelah menolak menandatangani politik kontrak dengan Belanda dan melakukan berbagai macam bentuk perlawanan, Sultan Abdurrahman Muazamsyah diturunkan dari tahta oleh penjajah. Tak seorang pun orang Melayu yang bersedia menjadi Sultan setelah itu, Abdurrahman Muazamsyah bahkan mengilhami orang-orang Riau meninggalkan Penyengat menuju Singapura dan Johor tahun 1911. Hanya beberapa ratus orang penduduk dari 6.000 orang penduduk waktu itu yang tinggal di Penyengat setelah peristiwa tersebut.
Dengan demikian, bangunan-bangunan kerajaan terbiarkan, bahkan dijarah. Selentingan dari penduduk terdengar cerita tentang bagaimana di antara para bangsawan mengharapkan agar bangunan-bangunan yang ada hendaklah dirubuhkan daripada diambil oleh Belanda. Tindakan semacam itu tidak mungkin dilakukan terhadap Mesjid Sultan, malahan rumah ibadah ini dipelihara baik sebagaimana mestinya sebuah rumah ibadah.
Sebenarnya, Mesjid Sultan di Pulau Penyengat sebagaimana disebutkan dalam Tuhfat al-Nafis (buku sejarah Melayu) karya Raja Ali Haji, dibangun seiringan dengan dihadiahkannya pulau tersebut kepada Engku Putri Raja Hamidah oleh Sultan Mahmud. Cuma saja, waktu itu, mesjid tersebut terbuat dari kayu. Raja Jaafar yang membangun Penyengat sebagai bandar modern hanya pernah memperlebar mesjid itu karena penduduk Pulau Penyengat semakin banyak.
Dalam buku Mesjid Pulau Penyengat yang disusun Hasan Junus disebutkan, pembangunan mesjid itu secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844), menggantikan Raja Jaafar. Tak lama setelah memegang jabatan itu yaitu pada tanggal 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk ber-fisabilillah atau beramal di jalan Allah.
Caranya adalah dengan membangun mesjid di atas tapak mesjid yang lama. Suatu mesjid yang dapat meninggalkan zaman yaitu dapat digunakan mulai saat dibina sampai kepada anak cucu mendatang. Seruan ber-fisabilillah itu sangat kuat bergaung, setelah seruan serupa dikumandangkan dalam perang Riau, sehingga berduyun-duyunlah masyarakat datang dari berbagai tempat untuk bergotong-royong. Khusus pada sepekan pertama, para lelaki selain penjaga malam, dilarang keluar rumah agar siangnya dapat menyumbangkan tenaganya untuk mesjid. Akhirnya, pembuatan fondasi mesjid selesai dikerjakan selama tiga pekan.
Tidak saja tenaga, mereka juga menyumbangkan makanan seperti beras, sagu, dan lauk-pauk termasuk telur ayam. Makanan itu berlimpah-ruah, bahkan konon putih telur sampai tidak habis dimakan. Atas saran tukang pada bangunan induk mesjid, putih telur itu akhirnya dicampur dengan semen untuk perekat batu. Itulah sebabnya mengapa banyak masyarakat menyebutkan bahwa mesjid tersebut dibuat dari telur.
Kini kawasan mesjid itu berukuran 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya adalah 29,3 x 19,5 meter, disangga oleh empat tiang. Lantai bangunannya dibuat dari batu bata tanah liat. Di halaman mesjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat musyawarah. Selain itu terdapat juga dua balai, tempat orang biasanya menghidangkan makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa yang disediakan pengurus mesjid setiap hari seperti juga tahun ini. Khusus bangunan induk, Raja Hamzah Yunus mengatakan, “Tidak ada perubahan semenjak pertama dibangun oleh Raja Abdul Rahman.”
Tak pelak lagi, keberadaannya memang amat lain dibandingkan mesjid semula yang terbuat dari kayu. Seperti dikisahkan dalam Mesjid Pulau Penyengat, semula mesjid itu berlantai batu merah empat persegi, sedangkan dindingnya terbuat dari kayu cengal (Balanocarpus heimii) yang didatangkan dari Selangor (kini masuk Malaysia). Atapnya terbuat dari kayu bekian. Hanya terdapat sebuah menara setinggi 12 hasta, ditambah sebuah kubah berukuran 17 hasta. Mesjid ini diberi pagar hidup dengan pohon-pohonan yang tumbuh merimbun.
Patutlah diakui bahwa bentuk Mesjid Sultan di Penyengat kini sangat unik. Sulit bagi orang untuk menentukan asal arsitekturnya. Ada yang mengatakan, mesjid ini bergaya India berkaitan dengan tukang-tukang dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura. Tetapi yang jelas, arsitektur mesjid merupakan gaya campuran dari berbagai wilayah budaya seperti Arab, India, dan Nusantara. Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Sultan ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.
Terdapat 13 kubah di mesjid itu yang susunannya bervariasi seperti ada “kelompok” kubah dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian 18,9 meter, maka dapatlah dijumlahkan bahwa bubung yang dimiliki mesjid tersebut sebanyak 17 buah. Ini diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari semalam yakni subuh (dua rakat), zuhur (empat rakaat), asyar (empat rakat), maghrib (tiga rakaat), dan isya (empat rakaat).
Keunikan di dalam mesjid masih banyak. Paling menarik perhatian adalah terdapatnya mushaf Alquran tulis tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul tahun 1867. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Disebabkan tempat belajarnya, penulisan mushaf Alquran itu bergaya Istambul yang dikerjakannya sambil mengajar agama Islam di Penyengat.
Alquran tulis tangan lain yang ada di mesjid itu dan tidak diperlihatkan kepada umum, ternyata lebih tua yakni dibuat tahun 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran, bahkan terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu terhadap kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa di sisi lain, orang-orang Melayu tidak saja menulis ulang mushaf, tetapi juga coba menerjemahkannya.
Tentu saja mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada umum karena sudah amat rusak. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan mesjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, Kutub Khanah Marhum Ahmadi, yang tidak terbawa bersama eksodusnya masyarakat Riau awal abad ke-20 ke Singapura dan Johor. Dalam suatu kunjungannya tahun 1970-an, Buya Hamka menilai bahwa buku-buku tersebut merupakan buku-buku penting yang tinggi nilainya dalam Islam.
Benda yang juga cukup menarik perhatian di mesjid ini adalah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Sebuah sumber menunjukkan bahwa mimbar ini sengaja ditempah di Jepara, Jawa Tengah, sebanyak dua mimbar. Satu mimbar diletakkan di Mesjid Sultan di Penyengat ini, sedangkan mimbar lain yang berukuran lebih kecil, diletakkan pada mesjid di Daik. Jepara, memang sudah lama dikenal di Riau, bahkan misi dagang Riau yang dipimpin Raja Ahmad, sempat berada di wilayah itu tahun 1826. Di antara anggota misi ini adalah pujangga Raja Ali Haji yang keranda (peti mati) untuknya sempat juga dibuat di Jepara karena ia sakit keras ketika berada di situ.
Hasan Junus mengatakan, di dekat mimbar itu disimpan sepiring pasir yang dikatakan berasal dari Makkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lain semacam permadani Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua yang dikenal sebagai bangsawan Riau pertama mengerjakan haji tahun 1820-an, hasil perdagangannya di Jawa sampai ke Betawi. Pasir tersebut senantiasa digunakan masyarakat dalam upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi kanak-kanak.

penampilan suasana dalam Idul Fitri dan lintasan sejarah yang dikandung Mesjid Sultan itu yang agaknya “mengusik” hati orang luar datang mengerjakan shalat Idul Fitri atau Jumat (lihat: Naksabandiyah dan Berbagai Kegiatan).
Pada gilirannya, kunjungan pendatang dari luar itu merupakan hikmah tersendiri bagi Mesjid Sultan. Ini terbukti banyaknya uang terkumpul dari infak dan sedekah pengunjung. Seorang pejabat Departemen Perhubungan di Jakarta beberapa tahun lalu sempat terkagum-kagum sambil mengatakan bagaimana sebuah mesjid yang berada di desa dengan mata pencaharaian penduduk adalah buruh dan pegawai negeri, memiliki kas di atas Rp 100 juta.
Keterangan terbaru menyebutkan, kas tersebut kini sudah membengkak menjadi Rp 200 juta lebih. Uang inilah yang dikelola untuk berbagai kegiatan seperti pendidikan keagamaan bagi kanak-kanak. Setiap bulan Ramadhan, pengurus menyediakan makanan berbuka puasa bagi 40 orang. Tak ada syarat untuk itu kecuali memang berpuasa dan memerlukannya. Selebihnya, dana tersebut diperlukan untuk memakmurkan mesjid.
Bayangkan saja, untuk memperindah mesjid, baru-baru ini dipasang lampu mewah pada dua menara mesjid seharga Rp 12 juta. Tak pelak lagi, dari Tanjungpinang, menara mesjid itu terlihat bagai mercusuar-seperti menjalani fungsi mercusuar sebenarnya agar orang tidak tersesat berlayar pada malam hari. Menaranya yang terang benderang terlihat seperti dua belah tangan yang mengaminkan doa ke langit, sekaligus mengingatkan orang akan wujud Allah.
Pengurus mesjid pula tampaknya tidak terlalu ortodoks terhadap pengunjung yang setiap hari mengunjunginya dalam angka relatif-dapat mencapai 1.000 orang pada hari Minggu atau pada hari libur. Mereka dipersilakan melihat-lihat keadaan mesjid setiap saat. Tentu saja, kegiatan melihat-lihat itu tidak lepas dari usaha agar tetap mengingatkan diri kepada Allah, sehingga seorang pengunjung tetap dituntut berlaku sopan. Pengunjung lelaki misalnya, tidak diperkenankan naik ke mesjid kalau hanya memakai celana pendek. Selain itu orang tidak dibenarkan mengambil foto di dalam mesjid.
Tak hanya sampai di situ. Fasilitas mesjid dapat digunakan untuk berbagai kegiatan sosial keagamaan. Dua balai yang berada di halaman mesjid, dapat dijadikan tempat diskusi keagamaan dan kebudayaan. Tahun lalu misalnya, pengurus membenarkan pengisi kegiatan Hari Raja Ali Haji mengadakan kegiatan di dalam kompleks mesjid seperti bimbingan penulisan kreatif dan latihan membacakan syair dan Gurindam Duabelas.
Ya, Mesjid Sultan merupakan salah satu dari belasan obyek wisata di Pulau Penyengat sebagai obyek wisata andalan Riau, apalagi dalam saat hari raya seperti sekarang. Tetapi untuk soal agama, Mesjid Sultan tidak bisa ditawar-tawar karena fungsinya tetaplah sebagai rumah ibadah. Mesjid ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa pandangan terhadap dunia tidak mungkin ditutup, tetapi pandangan kepada akhirat tetap dibuka selebar-lebarnya

MAJLIS PERKAHWINAN PUTERI ASHIKIN @ SUNGAI ABONG, MUAR, JOHOR (30/11/2013)















CADANGAN PUSAT PENGAJIAN ISLAM BERTARAF ISLAM.


  • Saya Hj Amir bin Abdul Majid dari Muar, Johor ingin menganjurkan sesuatu perkara bagi munafaat warga Pulau Penyengat dengan kerjasama penduduk setempat dan mereka mereka yang berasal dari Pulau Penyengat, sama ada mereka kini berada di Indonesia, Singapura, Brunai, atau Malaysia.

    Sebagai langkah pertama, beberapa anggota dari keluarga keturunan AlMarhum Raja Ali bin Raja Jaafar bercadang untuk membina dan melaksanakan satu pusat pengajian Islam bertaraf antarabangsa, bermula dari peringkat rendah hingga ke peringkat universiti, melalui sumbangan jariah anggota keluarga dan kerabat, serta dana dari luar Nusantara.

    Cadangan ini adalah sejajar dengan sifat Raja Ali bin Raja Jaafar, Yamtuan Muda Riau Kelapan yang banyak membawa pembaharuan dalam pemerintahan baginda yang berteraskan keislaman. Bersama dengan adindanya Engku Haji Muda Raja Abdullah, baginda telah banyak melakukan pembaharuan dalam pemerintahan. Baginda telah menguat-kuasakan buat pertama kalinya undang-undang Islam di Riau. Menurut Raja Ali Haji, pengarang Tuhfat Al-Nafis, pemerintahan Raja Ali ialah zaman gemilang Kerajaan Riau.

    Raja Ali bin Raja Jaafar, Yang Di-Pertuan Muda Riau ke 8 ialah putera kedua Raja Jaafar bin Raja Haji. Baginda diangkat menjadi Yamtuan Muda Riau pada tahun 1845 selepas kemangkatan kekandanya Raja Abdul Rahman bin Raja Jaafar, Yamtuan Muda ke-7. Raja Ali telah memerintah Riau dengan baik. Pulau Penyengat dijadikan pusat pentadbiran kepulauan Riau. Sewaktu pemerintahan baginda, ekonomi Riau telah berkembang dengan pesat. Perdagangan diantara Riau dengan Melaka dipergiatkan. Pentadbiran Kerajaan Riau diperkemaskan. Pulau Karimon yang ditinggalkan kosong kerana angkara lanun telah kembali pulih apabila segala lanun dihapuskan dan perlombongan bijih timah digalakkan menyebabkan penduduk bertambah ramai.

    Diantara peningggalan Raja Ali yang nyata sehingga ke hari ini ialah Kompleks Istana dan Pejabat Yamtuan Muda di Pulau Penyengat. Raja Ali juga dikenali sebagai Marhom Kantor, bererti baginda mangkat di pejabatnya. Raja Ali mangkat pada 28 Jun 1857, dan disemadikan bersebelahan dengan ayahandanya Raja Jaafar.

    Satu Jawatankuasa Penaja akan ditubuhkan terdiri dari 20 orang, masing masing mewakili setiap keturunan putera dan puteri Raja Ali. Putera Puteri Raja Ali ialah Raja Mansur, Raja Andut, Raja Muhd Yusuf, Raja Abdul Samad, Raja Merewah, Raja Sulaiman, Raja Awang, Raja Perak, Raja Safiah, Raja Salamah, Raja Hamidah, dan Raja Bungsu (dari Raja Safiah binti Raja Idris), Raja Jaafar @ Raja Nong-Johor (dari Raja Sulong binti Temenggong Abdul Rahman), Raja Abdul Wadud, Raja Fatimah, Raja Mohamad dan Raja Hassan (dari Raja Aishah binti Temenggong Abdul Rahman), Raja Md Som, Raja Wok, dan Raja Husin, (dari Cik Puan Salamah).

    Jawatan Pengerusi, Setiausha, Pen Setiausaha dan Bendahari JK Penaja ini akan dipilih dari kalangan AJK Penaja.

    Untuk menjejaki semua pewaris Raja Ali ini, saya memerlukan butiran anggota keluarga untuk memenuhi pengkalan data. Oleh itu, sukacita kiranya bagi mereka-mereka yang berminat menyumbang dan menyertai kumpulan ini, sila hubungi saya melalui email amirmajid1945@yahoo.com atau dalam inbox facebook amir abdul majid secepat mungkin. Sila nyatakan nama, alamat, no telefon, hubungan kekeluargaan (dari induk mana) dan sama ada anda bersedia menyertai usaha ini secara sukarela sebagai amalan jariah dan sumbangan ikhlas kepada tanah tumpah darah nenek-moyang/moyet kita, selewatnya sebelum 31.12.2013.

    Terima kasih di atas perhatian anda. Mohon maaf jika ada yang terkasar bahasa atau sumbang langkah. Saya bersedia untuk ditegur, jika ini akan menguatkan azam dan iltizam kita semua untuk bergerak ke jalan Allah swt. Salam.

UNDANGAN PERKAHWINAN PUTERI SAUDARA AHMAD BABA (30/11/2013)

Saudara Ahmad Baba suami kepada Allayarmah Zaiton binti Ismail dari Keluarga Puteri Hendon bt Kassim, dan Induk Saamah bt Pajar, mengundang, semua ahli keluarga  Parimbunis ke Majlis Perkahwinan puterinya, Saudari Nurashikin bt Ahmad pada 30hb November 2013 ( Hari Sabtu) di alamat B1 Jln Sultan Abu Bakar, Kg Kenangan Tun Dr Ismail 2, Muar, Johor. ( Berhampiran JPJ Sg Abong, Muar) Kehadiran di hargai.



SELAMAT HARI KEPUTERAAN KE 55

DAULAT TUANKU

Barisan kepimpinan dan ahli-ahli Persatuan PARIMBUNIS , merafak sembah menjunjung kasih setinggi-tinggi tahniah dan ucap selamat kepada

DULI YANG MAHA MULIA SULTAN IBRAHIM
IBNI ALMARHUM SULTAN ISKANDAR

Sultan Dan Yang DiPertuan Bagi Negeri Dan Jajahan Takhluk Johor Darul Ta'zim
Sempena hari Ulang Tahun Keputeraan Yang ke 55 pada 22 November 2013

Semoga Allah Lanjutkan Usia Tuanku.
DAULAT TUANKU !


BLOG PARIMBUNIS

BLOG INI ADALAH DIKHASKAN UNTUK AHLI KELUARGA PARIMBUNIS, BERINTERAKSI DAN MENYALUR MAKLUMAT SEMASA, SEMUGA DAPAT MENGERATKAN HUBUNGAN SIRATULRAHIM.

Bercakap-cakaP


ShoutMix chat widget

AsmauL Husna

All Malaysian Bloggers Project

Jutawan Emas

Click here ContacT me!! Dealer: Abdullah Johor Bahru, Johor. En. Abd.Lah @ Abdullah Bin Awang Mobile: 016-716 6515 Email: q_eyda@yahoo.com.sg

PengunjunG

blogspot hit counter

Follow me